Perjuangan Mencari Perempun Polos dam Cantik Alami (4)
Akhirnya ibunda Burhan mengenalkan putranya dengan gadis dari Cirebon. Putri seorang kerabat Keraton Kanoman. Anaknya tidak begitu cantik—menurut standar Burhan—dan agak mboys. “Maaf Kanjeng Ibu, kalau boleh, mbok jangan yang ini,” kata Burhan mengulangi penolakannya kembali yang disampaikan kepada sang ibu, meski sebelumnya sudah berjanji bakal menerima siapa pun calon yang diajukan ibunya. Kali ini ibunya benar-benar kecewa. Burhan merasakan kekecewaan itu karena ibunya menghela napas panjang dan memandangnya sangat tajam. “Maafkan Kanjeng Ibu,” kata Burhan dan lagi-lagi menjajikan ini adalah penolakan yang terakhir. Ibunya tak merespons. Setelah itu kedua orang tuanya tidak lagi mendesak Burhan untuk bersegera menikah. Seminggu berlalu. Sebulan berlalu-lalu hingga hampir setahun, kondisi tidak berubah. Sekarang giliran Burhan yang merasa tidak jenak kepada orang tua. Makanya dia berjanji dalam hati. Begini: cewek pertama yang ditemui, menarik, dan mau diajak menikah bakal dijadikan kekasih dan istri. Tidak lama setelah itu, hanya selang beberapa hari, Burhan mendapat undangan perkawinan dari temannya di Bandung. Burhan pu menghadiri undangan itu. Sendirian. Burhan menginap di The Papandayan. Saat makan malam, secara tidak sengaja Burhan bersenggolan dengan seorang gadis. Cantik. Supel. Seksi. Burhan terpana. Makan malam disambung sarapan bersama keesokan paginya. “Setelah ini kita renang. Mau?” ajak Burhan. Cewek tadi, sebut saja Nany, hanya tersenyum dan menggeleng pelan. Burhan makin terkesan. Seiring perjalanan waktu, hubungan mereka semakin dekat. Akhirnya Burhan menggiring Nany ke sebuah pilihan. “Bolehkah aku memberikan pilihan untuk hubungan kita?” tanya Burhan mgnulangi ucapannya waktu itu. “Apa itu?” tanya Nany. “Pertama kita kembangkan hubungan ini sebagai teman biasa. Teman say hello. Kedua, kita kembangkan hubungan ini sebagai sahabat. Hubungan yang saling memberikan perhatian. Ketiga, sebagai kekasih. Tentu dengan hak dan kewajiban layaknya orang berpacaran. Keempat, sebagai calon suami dan istri,” kata Burhan. Dia melihat kekagetan di wajah Nany. Juga kebingungan. Mungkin gadis ini tidak menyangka bakal mendapat pertanyaan yang disampaikan secara tidak serius tapi isinya sanga serius. “Sebelum njawab, boleh aku mengajukan pertanyaan?” tanya Nany. Pertanyaan yang diajukan Nany begini, “Asal masing-masing menerima pasangan dalam kondisi apa adanya. Sanggup?” Mendengar ini, Burhan sempat bingung. Tapi, bukankah dia sendiri yang menjebak Nany dengan pertanyaan aneh-aneh dan membingukan? (jos, bersambung)
Sumber: