Pimpin Upacara Hari Santri, Wali Kota Eri Cahyadi Ingatkan Surabaya dengan Resolusi Jihadnya

Pimpin Upacara Hari Santri, Wali Kota Eri Cahyadi Ingatkan Surabaya dengan Resolusi Jihadnya

Surabaya, memorandum.co.id - Hari Santri di Kota Surabaya diperingati dengan sangat meriah. Serangkaian Hari Santri itu dimulai dengan lomba Musabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ), lalu dilanjutkan dengan malam tasyakuran Hari Santri, dan dilanjutkan dengan upacara Hari Santri Nasional 2022 di halaman Balai Kota Surabaya, Sabtu (22/10/2022). Sejak pagi, ratusan santri berdatangan ke Balai Kota Surabaya. Mereka menggunakan sarung dan peci hitam. Sedangkan santriwati menggunakan busana muslim. Upacara itu dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran, pembacaan UUD 45, dan ikrar santri. Bahkan, saat itu juga dibacakan sejarah Hari Santri yang berkaitan pula dengan resolusi jihad. Dalam upacara itu, dimeriahkan pula oleh penampilan musik angklung oleh SD Muhammadiyah 6 Surabaya, penampilan pencak silat dari Asad LDII PPM Subulussalam, dan dimeriahkan pula oleh Albanjari Syekhermania Rangkah Surabaya. Di samping itu, juga diserahkan piala dan piagam penghargaan bagi para juara MTQ dari berbagai kategori yang jumlahnya sebanyak 158 orang. Bahkan, juga diserahkan piala bergilir juara umum MTQ Surabaya yang diraih oleh Kecamatan Rungkut. Pada kesempatan ini, Wali Kota Eri menjelaskan bahwa rangkaian Hari Santri di Kota Surabaya sudah dimulai dengan lomba MTQ Surabaya, dilanjutkan malam tasyakuran, dan dilakukan upacara Hari Santri. Menurutnya, ini penting untuk mengingatkan kembali bahwa Surabaya tidak bisa dilepaskan dari santri karena menjadi tempat resolusi jihadnya. “Jadi, saya ingin mengingatkan kembali bahwa Surabaya ini tidak bisa dilepaskan dari santri karena resolusi jihadnya,” kata Wali Kota Eri. Kala itu, lanjut dia, Presiden Soekarno mendatangi Mbah Kiai Hasyim Asy’ari untuk menanyakan bagaimana hukumnya mempertahankan kemerdekaan. Menanggapi hal itu, KH Hasyim Asy’ari akhirnya mengeluarkan fatwa berupa resolusi jihad yang kemudian diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa-Madura. Resolusi jihad itulah yang kemudian membakar semangat masyarakat Indonesia terutama warga Surabaya dan sekitarnya untuk bertempur melawan penjajah, sehingga terjadilah pertempuran yang sangat luar biasa dan tidak pernah terjadi di daerah lainnya, yaitu pertemuan 10 November 194. Pada waktu itu, para santri mengangkat senjata, mengangkat bambu runcing untuk mempertahankan Kemerdekaan RI, khususnya di Kota Surabaya. “Dari situlah Surabaya akhirnya menjadi Kota Pahlawan,” tandas Eri. Menurut wali kota, jika dulu santri mengangkat bambu runcing untuk memerdekakan Indonesia dari penjajah, maka saat ini dia berharap santri menjadi garda terdepan untuk memerdekakan Surabaya dari kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan juga putus sekolah. “Oleh karena itu, saya ingin kumpulkan para santri ini menjadi kekuatan besar yang bernama Majelis Santri Surabaya,” kata dia. Dirinya sangat yakin, apabila ulama dan umara bersatu, dan umara tawadu’ kepada para ulama dan kiai, maka cita-cita mulia itu akan bisa tercapai. Hal itu sudah dicontohkan oleh Bung Karno yang meminta restu kepada para ulama ketika mempertahankan kemerdekaan Indonesia. “Kalau santri sudah berada di garda terdepan, ketika pemimpin di Surabaya tawadu’ kepada para ulama, maka saya yakin Surabaya ini bisa menjadi kota yang baldatun toyyibatun warobbun ghafur. Tentunya, makna santri itu sangat luas dan bukan hanya yang ada di pondok. Jadi, saya minta tolong santri yang ada di depan untuk memerdekakan Surabaya dari kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan putus sekolah,” pungkasnya. (bin)

Sumber: