Suami Berubah Emosional setelah Di-PHK Pascapandemi (1)
“Mas. Tolong jangan bentak-bentak aku lagi. Aku takut tidak bisa menahan diri dan membalas membentak kamu. Padahal, aku tahu itu dosa. Durhaka. Karena itu tolonglah aku.” Kalimat tadi diucapkan seorang perempuan, sapa saja Nana, di ruang pengacara area Pengadilan Agama (PA) Surabaya, beberapa waktu lalu. Itu adalah kalimat yang pernah diancamkan kepada suaminya, sebut saja Nono. Perempuan itu berharap isi hatinya yang tertuang dalam surat tadi bisa menjadi pelajaran bagi para suami yang lain. Karena itu, wanita yang merasakan dirimya sebagai emak-emak milenial tersebut sengaja bercerita kepada Memorandum. Setelah itu Nana menarik napas panjang dan menyapu isi ruangan dengan mata meradang. Beberapa orang spontan tertunduk ketika matanya bertatapan dengan mata Nana. Memorandum yang merasakan suasana yang tadinya hening bertambah senyap. Dan mencekam. Persis suasana ruang pengadilan ketika hakim membacakan vonis untuk terdakwa. Nana melanjutkan berkata bahwa perempuan sebagau istri pasti mendoakan dan sayang terhadap suami yang lelah bekerja keras seharian supaya kebutuhan keluarga tercukupi. “Saya minta maaf lantaran terlalu berani mengancam dan berkata kasar kepada suami. Saya menyampaikan langsung karena takut terjadi miskomunikasi. Yang jelas, saya menyampaikan ini sebagai upaya menghindari perpecahan d antara kami,” kata Nana. Ia tahu suaminya sudah bekerja keras membanting tulang demi dia dan anak-anak. Walau begitu, dia tidak mau dijadikan objek pelampiasan emosi di kala penat dan hati lelah. Tidak hanya main bentak, akhir-akhir ini Nono juga sering merusak peralatan rumah tangga di rumah. Setiap emosi merasuki jiwanya, lelaki itu meraih apa yang ada di dekatnya dan melemparkan atau membantingnya. Sudah banyak barang-barang yang hancur berantakan. Tidak hanya barang yang kecil-kecil dan receh, tangan Mas Nono juga meraraih benda-benda besar dan berharga mahal. “Saya khawatir suatu saat dia nekat membakar rumah,” keluh Nana. Ancaman itu sebenarnya bukan hanya kali ini disampaikan Nana. Sudah dua-tiga kali. Tapi, ancaman itu disampaikan secara lisan ketika mereka bertengkat mulut . Namun karena tidak pernah dihiraukan, Nana lalu mengubah strategi amarahnya secara tertulis. Isi ancamanya memang tidak diungkapkan secara jelas, tapi siapa pun yang waras pasti tahu arah akhir tulisan itu. “Saya menaruh tulisan tadi di atas bantal ketika bangun tidur sebelum minggat pulang ke rumah orang tua,” tandas Nana. Ditunggu sehari-dua hari, ternyata suaminya tidak kunjung menjemput. Nana mencoba bertahan di rumah orang tua. Dia juga meminta anak-anaknya ikut menyusul ke rumah kakek-neneknya. (jos, bersambung)
Sumber: