Kisah Sebuah Manipulatif (2)

Kisah Sebuah Manipulatif (2)

'Kesesuaian antara kehendak dan pernyataan merupakan dasar dari terbentuknya kesepakatan.’ (Teori kehendak, wilstheorie). Menarik diketahui, bahwa cacat pada kehendak terjadi apabila seseorang telah melakukan suatu perbuatan hukum, padahal kehendak tersebut terbentuk secara tidak sempurna. Kehendak yang terbentuk secara tidak sempurna tersebut dapat terjadi karena adanya: ancaman/paksaan (bedreiging, dwang); kekeliruan/kesesatan/kekhilafan (dwaling); penipuan (bedrog); dan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Adakah cacat kehendak dalam peristiwa 3 Oktober 2015 tersebut? Tulisan ini tentunya tidak bertujuan menghakimi sebuah pihak karena kebenaran seringkali disebut sebagai sebuah relativitas. Dengan kata lain, yang benar tidak selalu dapat diakui benar-benar kebenaran oleh semua orang. Begitupun dengan peristiwa yang mana seorang Alex mentransfer dana ke sebuah rekening bersama yang kemudian diambil keseluruhan dananya oleh Pram, sedangkan rekening tersebut atas nama Pram dan H. Hasan. Dan H. Hasan, sama sekali tidak mengetahui perihal pemindahan dana hingga keseluruhan pencairan tersebut. Termasuk, dalam pemindahan dana, Alex mengisi dua slip penyetoran dana ke sebuah nomer rekening yang sama, keterangan berbeda, dan selisih waktu sekitar 2 menit. Dalam slip pertama, yaitu pukul 14:28 WIB Alex melakukan pengiriman dana dengan keterangan bahwa penerima dana adalah ‘H. Hasan’ dan bank penerima adalah ‘Bank M Cab. A’. Nama pengirim ‘Alex’, keterangan alamat pengirim dikosongkan, terbilang ‘lima ratus juta rupiah’, keterangan berita ‘pelunasan pemb. t/b di Kel. X’. Sedangkan selama ini, pengiriman dana antar bank berbeda, tidak pernah mencantumkan bank tujuan adalah lokasi penempatan (Seharusnya, cukup Bank M, kecuali jika antar kedua belah pihak terbiasa melakukan transaksi aliran dana sebelumnya). Adapun Alex pada pukul 14:30 WIB, melakukan pemindahan dana dengan keterangan: ‘Pinj. Pram untuk proyek tambang’, terbilang ‘tiga ratus juta rupiah’, tertulis penerima dana adalah ‘Pram’, dan bank penerima adalah ‘Bank M Cab. B’, nama pengirim ‘Alex’. Dana yang semula senilai Rp. 1,6 milyar rupiah pada 3 Oktober 2015 tersebut, kemudian secara berangsur diambil sepihak oleh Pram, baik melalui cash withdrawal (penarikan dana) melalui RTGS maupun kartu ATM. Sedangkan dalam rekening bersama tersebut, kemudian diketahui bahwa dalam dibuat tanpa terdapat tandatangan H. Hasan dalam buku rekening, dan juga tidak terdapat nama H. Hasan dalam print out rekening korannya. Fakta ini yang kemudian membuat H. Hasan terkejut kala pada tanggal 15 Januari 2016, Sony yang merupakan mantan muridnya, mengajak H. Hasan bertemu. Dalam pertemuan tersebut, hadir juga Pram. Mereka kemudian mengakui bahwa dana telah cair sesaat setelah penandatangan akta perjanjian dan uang tersebut telah mereka cairkan secara sepihak karena Bank M memberi keleluasaan bahwa rekening bersama bisa dicairkan oleh salah satu pihak saja. Dari pertemuan tersebut, diketahuilah bahwa dana sebesar 1,6 milyar pada 3 Oktober 2015, tersisa menjadi hanya Rp. 5.641.000,- selama 12 hari, tepatnya pada 15 Oktober 2015. Menyadari telah terjebak dalam rangkaian kisah manipulatif, H. Hasan dan istrinya pun berupaya bertemu dengan Alex. Pada Februari 2016, mereka pun akhirnya bertemu. Dalam pertemuan tersebut, istri H. Hasan, Hj. Salwa, mempertanyakan aliran dana ke rekening bersama, sedangkan tanda tangan perjanjian hanya dilakukan oleh Alex dan Salwa, disebabkan sertifikat ponpes yang menjadi jaminan, beratasnama Hj. Salwa. Hj. Salwa juga mempertanyakan ketidaktahuan mereka terhadap pencairan dana tersebut, sedangkan Pram dan Sony justru mengetahui dan telah mempergunakan keseluruhan dana tersebut. Alex hanya bersikukuh agar H. Hasan dan Hj. Salwa meminta pertanggungjawaban pada Pram dan Sony. Mendapati jawaban yang tidak memuaskan, Salwa kemudian mencari solusi lain untuk mendapatkan jawaban atas apa yang sebenarnya terjadi dalam perjanjian yang telah ditandatanginya. Termasuk, Hj. Salwa menemui Ana, pihak Bank M yang membuat rekening bersama tersebut, untuk mempertanyakan proses pembuatan rekening bersama. Namun hasilnya tidak juga memuaskan, disebabkan Bank M memproses rekening bersama karena adanya surat kuasa dari H. Hasan, sekalipun, Bank M tidak berkenan memperlihatkan surat kuasa tersebut. Bank M pun bersikukuh bahwa rekening bersama di tempatnya, tidak mempersoalkan teknis pengambilan dana. Dalam hal ini, sebuah dana dalam rekening bersama dapat diambil melalui kartu ATM dan tidak harus ditandatangani oleh kedua pihak yang tercanum dalam rekening bersama. Mendapati perjuangannya masih nihil, Hj. Salwa dan suaminya pun mencari kebenaran atas akta yang telah ditandatanganinya. Akhirnya pada 14 April 2016, Salwa berhasil mendapatkan salinan akta pada Oktober tahun lalu. Syok, Salwa semakin menyadari adanya upaya-upaya manipulatif tatkala didapatinya bahwa akta tersebut bukan utang piutang, melainkan jual beli. Salinan akta tersebut memiliki beragam kejanggalan, diantaranya adalah redaksional kata atau kalimat yang tidak sesuai fakta. Seperti: kesalahan menulis jam dan tempat berlangsungnya penandatanganan, tidak adanya dua saksi, tidak adanya tanda tangan bermaterai dari Pejabat pembuatnya, tidak adanya paraf pihak-pihak, dan penulisan kalimat bahwa ‘pembayaran dari pihak pembeli telah diterima oleh penjual.’ Dalam hal ini, akta tersebut menjelaskan bahwa pembeli adalah Alex dan penjual adalah Salwa. Terkejut, karena Hj. Salwa masih mengingat bahwa Alex mengatakan di depan Arni (pejabat pembuat akta tersebut), bahwa dana belum dapat dicairkan karena menunggu penandatanganan di hadapan notaris Madiun. Namun Salinan akta yang didapatinya menyampaikan bahwa pembayaran telah lunas, yaitu sejumlah Rp. 1 milyar. Bahkan, Salinan akta yang didapatkan oleh Salwa adalah Akta Perjanjian Jual Beli dan Akta Kuasa Menjual. Menyadari kejanggalan demi kejanggalan, Hj. Salwa yang kini telah ditinggal oleh suaminya, H. Hasan, menghadap Illahi, kemudian melaporkan kasus tersebut pada salah satu lembaga yudikatif, kini terus berusaha mencari kebenaran. Tentang apa keterkaitan antara Sony, Pram, Alex, Arni, dan Ana, dalam peristiwa 3 Oktober 2015 silam, sehingga beralirnya dana sejumlah Rp. 1,6 milyar tanpa sepeserpun diterima oleh Salwa sedangkan hingga kini Sertifikat ponpes telah berpindah tangan, dari yang semula dibawa oleh Ana, pada November 2016 telah diberikan pada Alex. Penulis: Lia Istifhama

Sumber: