Demo, Mantan Karyawan PT Smelting Desak PN Gresik Laksanakan Eksekusi
Gresik, memorandum.co.id - Puluhan massa mantan karyawan PT Smelting meluruk kantor Pengadilan Negeri (PN) Gresik, Rabu (6/7/2022). Demonstran menilai pihak perusahaan telah melanggar perjanjian bersama (PB) yang dibuat pada Juni 2016. Mereka mendesak pengadilan untuk segera melakukan eksekusi dengan nilai triliunan rupiah. Eks karyawan PT Smelting yang tergabung dalam Serikat Pekerja Logam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPL-FSMI), Zaenal Arifin mengatakan PB tersebut dibuat atas kesepakatan antara perusahaan dan serikat pekerja. Namun menurutnya, PT Smelting melanggar akta PB tersebut dan tentunya merugikan pihaknya. "Kegiatan teman-teman pada hari ini terkait masalah meminta ketua PN Gresik untuk melaksanakan penetapan eksekusi akta perjanjian bersama yang telah dilanggar PT Smelting. Perjanjian bersama yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Gresik ini terjadi pada Juni 2016," kata Zaenal Arifin usai menggelar demo, Rabu (6/7/2022). Sesuai Pasal 7 Ayat (5) UU No 2 Tahun 2004, lanjutnya, jika PB tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan bisa meminta eksekusi langsung ke pengadilan tempat perjanjian tersebut didaftarkan. "Salah satu yang dilakukan PT Smelting, adalah PT Smelting melanggar salah satu kesepakatan yang ada di perjanjian bersama poin 7, 8 dan 9. Bahwa PT Smelting telah melakukan tindakan diskriminasi terkait kenaikan upah pekerja," tandasnya. Diskriminasi itu disebut terjadi pada tahun 2016. Atas pelanggaran tersebut, puluhan bekas karyawan PT Smelting meminta pihak perusahaan membayar kompensasi dan denda. Tidak tanggung-tanggung, nilainya mencapai triliunan rupiah. "Penghitungan kita karena pelanggaran ini sudah dilakukan sejak April 2016, maka kita hitung sampai sekarang (2022, red). Kenapa? Di PKB kita sudah ada kesepakatan, bahwa hutang piutang harus dilakukan kedua belah pihak sampai dengan dinyatakan resmi PHKnya. Okelah pengadilan menyatakan kita PHK, tapi kita punya berjanjian sendiri dengan perusahaan," papar dia. Untuk nilai diskriminasi upah sebesar Rp 29,250 juta per orang per bulan. Jumlah bekas karyawan yang diperjuangkan sebanyak 307 orang. "Untuk diskriminasi upahnya saja itu nilainya sudah lebih dari satu triliun. Dan ini belum kita itung denda. Karena berdasarkan Permen 33, upah yang tertunda dilakukan penghitungan denda. Penghitungan yang kita lakukan sesuai undang - undang yang berlaku," tutupnya. Demonstran pun meminta PN Gresik untuk segera menetapkan eksekusi. Zaenal mengaku permohonan penetapan eksekusi sudah dilayangkan sejak awal 2017. Namun tidak ditanggapi Ketua PN Gresik dan hanya dibalas oleh Panitera. Hal itu berulang pada tahun 2020. Permohonan itu tidak ditanggapi atau ditolak tanpa penjelasan. Hingga terakhir surat dilayangkan pada April 2022. "Intinya kami berharap Ketua PN Gresik segera menetapkan eksekusi terhadap pelanggaran PB yang telah dilakukan PT Smelting. Kami akan terus melaksanakan aksi hingga eksekusi dilakukan. Kami sudah lampirkan bukti - bukti dalam surat permohonan dan berharap Ketua PN Gresik bertindak tegas. Kami memperjuangkan hak-hak kami," pungkasnya. Sementara itu, Humas PN Gresik Mochamad Fatkur Rochman dengan tegas membantah jika pihaknya tidak menanggapi surat -surat dari bekas karyawan PT Smelting tersebut. Dikatakan Ketua PN Gresik telah memberikan tanggapan beberapa kali melalui surat tanggal 17 September 2020, tanggal 10 Maret 2021, tanggal 22 Maret 2022 dan terakhir tanggal 15 Juni 2022 Ia memastikan bahwa dari beberapa surat yang masuk dari eks karyawan PT Smelting sudah ditelaah dan ditanggapi sebagai mana mestinya. "Bukan menolak (permohonan penetapan eksekusi, red) tapi tidak ada dasar hukum secara normatif untuk dilaksanakannya permohonan eksekusi tersebut," jelas Mochamad Fatkur Rochman secara tegas. Terpisah, Legal Manager PT Smelting Hari Purnama menilai permohonan eks karyawan itu sangat tidak masuk akal. Pasalnya, dalam poin ke 6 PB sudah jelas bahwa pembayaran itu dilakukan hanya bulan Juli 2016 saja. Tapi malah diartikan berlaku secara berkelanjutan. Pihaknya juga menyangkal terkait pelanggaran diskriminasi kenaikan upah. "Ini sangat tidak masuk akal. Kami sudah memenuhi kewajiban kami sesuai dalam PB tersebut. Terkait diskriminasi, dalam PB itu hanya dibahas kenaikan upah untuk golongan I - IV. Tidak membahas golongan V dan VI yakni jajaran manajer dan direksi. Sementara, mereka ingin kenaikan upah di semua golongan sama. Padahal tidak dibahas dalam PB tersebut. Ini ada tanda tangan dan paraf dari kedua belah pihak," tukasnya. Dijelaskan, Mereka sudah diPHK sesuai putusan pengadilan pertanggal 31 Januari 2017. "Mereka bukan lagi karyawan PT Smelting sejak 31 Januari 2017 sesuai putusan pengadilan perihal PHK.," pungkasnya.(and/har)
Sumber: