Notaris Disidang, Pasutri Ungkap Tidak Pernah Berikan Surat Kuasa

Notaris Disidang, Pasutri Ungkap Tidak Pernah Berikan Surat Kuasa

Surabaya, memorandum.co.id - Hardi Kartoyo dan Itawati Shidarta, pasangan suami istri harus yang kehilangan aset tanah dan bangunan miliknya. Mereka mengaku tidak pernah memberikan surat kuasa kepada notaris Edhi Susanto dan istrinya, Feni Talim, untuk mengurus pengecekan tanah milik mereka di Kantor Pertanahan (Kantah) Surabaya II. Kedua korban juga mengatakan tidak pernah membuat surat pernyataan penyusutan tanah yang akan mereka jual kepada tetangganya, Tiono Satria Dharmawan tersebut. Namun, Feni menggunakan surat pernyataan yang seolah-olah ditandatangani Itawati itu untuk mengecek tanah di kantah. "Istri saya tidak pernah kasih kuasa ke notaris maupun istrinya untuk mengubah. Surat kuasa juga tidak pernah dibuat istri saya," kata Hardi saat memberikan keterangan sebagai saksi untuk terdakwa Edhi dan istrinya, Feni dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (23/6). Hardi menuturkan, dia awalnya mau menjual tiga bidang tanah yang sudah bersertifikat hak milik (SHM) atas nama istrinya, Itawati kepada tetangganya, Tiono pada 2017. Dua bidang tanah di Rangkah dan satu bidang di Jalan Kenjeran. Tiono sepakat untuk membeli tiga bidang tanah itu senilai Rp 16 miliar. Tiono yang kini sudah meninggal dunia ketika itu meminta Hardi untuk menyerahkan SHM tiga bidang tanah ke notaris Edhi. Alasannya, untuk dicek keabsahannya dulu di kantah. "Setelah selesai checking saya akan dibayar lunas untuk AJB (akta jual beli)," ujarnya. Hardi mengeklaim bahwa hasil dari pengecekan di kantah diketahui kalau tiga sertifikat itu tidak bermasalah. Namun, Edhi menyebut bahwa dua sertifikat bermasalah. Satu sertifikat luas tanahnya sudah menyusut karena pemotongan dari Pemkot Surabaya untuk pelebaran jalan. Satu lagi sertifikat logonya masih bola dunia dan harus diganti logo garuda. Setelah itu, SHM milik Hardi masih dikuasai hingga kini. Hardi juga belum mendapat uang pembayaran dari pembelian tiga bidang tanah tersebut. Dia lalu meminta SHM agar dikembalikan saja karena pembelian tanah itu sudah tidak jelas. Namun, Edhi tidak kunjung mengembalikan sertifikat tanah tersebut. "Tidak ada pembayaran tetapi sertifikat sudah diubah. Cover bola dunia sama ukuran luas tanah yang diubah. Kenapa bisa diubah-ubah, wong saya tidak pernah memberi kuasa," katanya. Hardi sempat datang ke kantor notaris Edhi untuk mengambil SHM miliknya. Namun, Edhi hanya memberikan fotokopiannya. Hingga kini Hardi juga mengaku tidak pernah mendapat uang dari penjualan tanah tersebut. "Saya hanya terima uang muka Rp 500 juta, setelah itu tidak pernah," ungkapnya. Itawati juga memberikan keterangan yang sama dengan suaminya dalam kesaksiannya. Dia tidak pernah datang ke kantor notaris Edhi. Selain itu, tidak ada surat-surat apapun dari Edhi maupun Feni yang ditandatanganinya. Mengenal notaris dan Istrinya itupun tidak. "Saya tidak kenal Feni. Notaris Edhi saya cuma pernah dengar namanya. Sekarang baru saya mengerti ceritanya kalau surat kuasa saya dipalsukan," tutur Ita dalam kesaksiannya saat persidangan. Pengacara para terdakwa, Peter Talaway menyatakan, dengan surat-surat tersebut, Hardi sebagai penjual justru diuntungkan. Di antaranya mendapat uang muka dari Tiono selaku pembeli serta pajak bumi bangunan sudah dibayar pembeli. Mengenai notaris Edhi dan Feni yang tidak kunjung menyerahkan SHM kepada Hardi karena digunakan sebagai bukti gugatan. "Notaris (Edhi) tidak mau serahkan karena pembeli (Tiono) menggugat notaris di pengadilan," kata Pieter. (jak)

Sumber: