Penerapan UU PKDRT, Ini Penjelasan Pakar Hukum Pidana
Surabaya, Memorandum.co.id - Perselisihan antara suami istri sering terjadi dalam sebuah keluarga. Terkadang kekerasan fisik ikut juga menyertainya. Bisa suami terhadap istri ataupun sebaliknya. Tak jarang akibatnya bisa sampai ke ranah hukum karena pelaku kekerasan fisik dijerat undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Menurut M Sholehuddin, pakar hukum pidana dari Universitas Bhayangkara, UU PKDRT dibuat untuk mengatur, merukunkan dan meyatukan rumah tangga. Bukan malah untuk menghancurkan. Oleh karena harus benar penerapannya. "Makanya pasal-pasal pidana itu jalan terakhir. Karena tidak mungkin suami istri bertengkar terus dilaporkan dipenjara. Ini bertentangan dengan tujuan dibuatnya UU KDRT itu," jelas M Sholehuddin saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (22/6). Bahkan, untuk kasus KDRT sendiri menurut Sholehuddin harusnya di restorative justice (RJ) saja. "Seharusnya di RJ, baik di kepolisian dan kejaksaan," ucapnya. Sedangkan saat diminta pendapat hukumnya terkait perbedaan pasal 44 ayat (1) dan ayat (4) UU PKDRT, Sholehuddin menerangkan dilihat dari akibat kekerasan fisik (penganiayaan) yang dialami korban. "Kalau kekerasan fisik atau penganiayaan yang menyebabkan opname, menimbulkan luka berat dan atau cacat secara fisik bisa didakwa dengan (pasal 44) ayat 1. Tetapi apabila tidak menimbulkan itu semua maka ayat 4," terangnya. Sementara apabila dikaitkan dengan salah satu kasus yang saat ini disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya, dimana korban tidak mengalami cacat fisik, luka berat, Sholehuddin mengatakan melihat dari fakta sidangnya. "Ya harus dilihat dulu fakta sidangnya bagaimana. Apa korban menderita luka berat, cacat fisik. Kalau tidak ya cukup ayat (4)," tandasnya. (jak)
Sumber: