Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Perwira (4)

Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Perwira (4)

Setelah bermalam di tepi sebuah pedukuhan Toh Kuning beserta kawannya kembali meneruskan perjalanan. Tatkala matahari telah naik setinggi batang alang-alang, gerbang kota Tumapel telah terlihat jelas di depan mereka. “Kita tidak masuk ke dalam kota,” kata Toh Kuning. Kawannya memandang dengan kening berkerut. “Di sebelah utara kota ada sebuah ladang yang luas. Kita akan tinggal di sana selama kita menjalankan tugas, Pamekas,” Toh Kuning menunjuk pada sebuah jalan menyimpang. Lantas mereka berdua memacu kuda lebih cepat agar tidak terhalang oleh kesibukan orang-orang yang mulai memenuhi jalanan. Tempat yang menjadi tujuan mereka adalah rumah yang pernah menjadi tempat tinggal Toh Kuning sebelum menjadi murid Begawan Bidaran. Rumah itu sekarang dihuni oleh beberapa lelaki muda yang dikenal sebagai orang-orang yang ringan tangan selain mempunyai kecakapan khusus dalam pertanian. Meskipun hari masih pagi, tetapi rumah itu telah ramai dikunjungi orang-orang sekitarnya yang mempunyai persoalan di sawah mereka. Sementara Toh Kuning yang mengenal lingkungan itu dengan sangat baik telah membuat keputusan untuk langsung bergabung dengan para petani. “Kita akan singgah di rumah itu, Pamekas,” kata Toh Kuning. “Apakah kita mengenal penghuni rumah itu, Ki Lurah?” tanya Pamekas. “Aku harap aku masih mengenali salah satu dari mereka. Karena aku meninggalkan rumah itu dalam waktu yang sangat lama,” jawab Toh Kuning lalu menarik tali kuda dan berhenti dari jarak yang agak jauh. Dahi Pamekas berkerut. Namun ia tidak ingin mengajukan pertanyaan lagi. Tiba-tiba Toh Kuning berkata lagi, ”Aku kira lebih baik kita berkeliling melakukan pengamatan. Aku meninggalkan pedukuhan ini dalam waktu yang lama. Mungkin dan agaknya pasti ada perubahan yang mungkin penting untuk kita ketahui.” Pamekas menganggukkan kepala dan menyahut, ”Baik, Ki Lurah.” “Jangan panggil aku Ki Lurah,” kata Toh Kuning, ”panggil saja dengan namaku sendiri. Aku akan memanggilmu Jerabang seperti kawan-kawanmu dalam barak memanggilmu.” Pamekas tersenyum lalu melihat kedua pergelangan tangannya yang dibalut kain berwarna merah. Lantas mereka menjauh dari rumah itu dan mulai melihat-lihat lingkungan yang dikelilingi sawah-sawah yang membentang dari ujung ke ujung. Pedukuhan itu tidak terlalu besar dan ramai apabila dibandingkan dengan pedukuhan di sekitar jalur Banengan. Dari pedukuhan, bila seseorang memandang ke sisi timur, maka ia akan menjumpai lereng landai dari sebuah bukit. Dan sepertinya lereng itu dijadikan lumbung oleh penduduk sekitarnya. Beragam tanaman tumbuh subur di atas tanah yang sedikit miring. Kesan berbeda akan memenuhi perasaan seorang pemahat bila ia berada di lereng hingga mathari naik setinggi galah. Toh Kuning dan Jerabang yang telah berjalan kaki sambil menuntun kuda kadang-kadang berhenti untuk bertanya tentang keadaan pedukuhan. Penampilan mereka sama sekali tidak menarik perhatian orang-orang di pedukuhan. Menjelang siang, mereka melintasi dua bulak panjang dan sebidang sawah yang baru saja dipanen. Mereka melihat kegiatan yang dilakukan sekelompok orang yang menarik perhatian hingga kemudian mereka bergerak mendekat. Kira-kira dalam jarak selemparan anak panah tiba-tiba muncul serombongan orang yang berpenampilan berbeda. Pakaian dan sikap mereka benar-benar tidak seperti kebanyakan orang di pedukuhan. (bersambung)      

Sumber: