Manusia Dan Masalah
Oleh : Dr. Lia Istifhama Q.S Al-Insyirah Ayat 5: فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Dalam Firman Allah SWT di atas, kita diingatkan atas keoptimisan, bahwa terdapat kemudahan atau solusi dalam setiap kesulitan atau permasalahan hidup. Hal ini menjadi spirit hidup agar manusia tidak mengalami putus asa saat ditempa masalah. Terlebih, dalam firman Allah SWT lainnya, yaitu Surat Al-Baqarah Ayat 286, diterangkan motivasi hidup bahwa setiap beban permasalahan ialah dialami setiap manusia sesuai kesanggupan. لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Beban permasalahan hidup manusia, tidak semua dalam konteks musibah, namun terdapat masalah yang terjadi akibat perbuatan manusia sendiri. Dengan kata lain, manusia melakukan kesalahan sehingga menimbulkan permasalahan. Dalam konteks yang kedua, maka penting bagi manusia untuk bertawakkal, bertaubat, dan memperbaiki kesalahan tersebut. Diterangkan dalam sebuah hadis: “Setiap anak Adam pasti berbuat dosa, dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah yang bertaubat.” (HR. Ibnu Majah). Hadis tersebut secara gamblang menegaskan bahwa manusia secara manusiawi pasti pernah melakukan perbuatan dosa, baik atas urusan ‘ubudiyah (kewajiban dalam hablum minallah) maupun mu’amalah (kewajiban dalam hablum minannas). Perbuatan dosa tentu saja menimbulkan dampak mudharat, yaitu merugikan diri sendiri dan orang lain, maka diwajibkan manusia yang sadar akan perbuatan dosanya, segera bertawakkal, yaitu berserah diri pada Allah SWT, dan bertaubat secara secara utuh. Kemudian, memperbaiki kesalahannya yang membuat dirinya sendiri terjerembab masalah. Dalam menyelesaikan masalah, baik masalah yang merupakan musibah, maupun masalah yang merupakan konsekuensi perbuatannya sendiri, manusia harus memulai dengan proses ‘berdamai pada keadaan’. Berdamai disini, adalah manusia secara ikhlas dan sadar menerima kekurangan dirinya dan mencoba memaafkan dirinya sendiri atas segala kekurangan ataupun kesalahan. Fase ini dapat disebut sebagai proses refleksi diri, bahwa manusia melakukan introspeksi dan berusaha memperbaiki dirinya. Melalui refleksi diri, manusia pun bukan hanya menerima kekurangan dirinya sendiri, melainkan juga kekurangan manusia lainnya. Hal ini diharapkan agar manusia tidak mempermasalahkan perbedaan dirinya dengan orang lain sehingga tidak memicu terjadinya perdebatan ataupun perselisihan. Fase berikutnya adalah menyusun strategi penyelesaian masalah dengan cara termudah yang bisa dilakukan. Dalam sebuah hadis diterangkan: عَنْ اَنَسِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَسِّرُوا وَلاَتُعَسِّرُوْا Dari Anas ra. dari Nabi Saw. beliau bersabda: “Mudahkanlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira.” Dengan begitu, manusia pun dianjurkan untuk menempuh cara-cara yang mudah bagi dirinya dan menghindari cara-cara yang menyulitkan atau membebani dirinya sendiri. Memberikan keringanan untuk diri sendiri, merupakan teladan dari ajaran Islam yang Rahmatan lil ‘alamin, bahwa Islam hadir sebagai ‘Rahmat’, yaitu anugerah, pertolongan, ataupun kemudahan, untuk alam semesta. Seperti halnya dalam ‘ubudiyah, Islam merupakan agama yang memahami ketidaksempurnaan manusia sehingga memberikan keringanan saat umat mukmin mengalami kesulitan. Hal ini disebut Mashlahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemashlahatan pokok (mendasar) yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar. Sebagai contoh, dalam bidang ibadah diberi keringanan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir dan Shalat Jamak Qasar. Dengan begitu, Islam memberikan teladan bahwa kesulitan ataupun permasalahan dapat dilalui namun kembali kepada diri manusia itu sendiri, yaitu bagaimana membangun strategi berdamai dengan keadaan dan memberikan ruang untuk memahami ketidaksempurnaan diri. Fase terakhir adalah membangun spirit resiliensi diri, bahwa menghadapi masalah akan membentuk resiliensi, yaitu ketahanan diri. Dengan membangun keoptimisan membentuk karakter diri yang tangguh dan mampu bertahan, maka manusia seyogyanya tetap belajar mensyukuri masalah yang dihadapinya. Dengan kata lain, tanpa belajar menghadapi masalah, maka manusia akan kesulitan membangun pribadi yang cerdas dan tangguh. Akhir kata, manusia dan masalah, adalah bagian yang melekat. Bahwa manusia dalam hidupnya, tidak bisa menghindari hadirnya masalah. Namun, masalah tetap bisa diantisipasi, yaitu dengan meminimalisir perbuatan diri sendiri yang mengakibatkan timbulnya masalah dengan sesama manusia lainnya (hablum minannas). Dengan menyadari hadirnya masalah di dunia, maka manusia pun bisa mengambil hikmah, yaitu menghindari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan akhirat-nya dipenuhi masalah dan kesulitan. Masalah di dunia masih bisa ditangani, namun masalah di akherat, akan kekal sifatnya.
Sumber: