Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Bergabung (7)

Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Bergabung (7)

Ken Arok memegang kepalanya dengan dua telapak tangan. Ia lalu berkata, ”Sudah pasti aku keberatan karena aku akan menghabisi Mahesa Wunelang untuk membebaskan jiwamu. Dan aku tidak termasuk bagian dari rencana meruntuhkan Kediri.” Toh Kuning melirik lelaki muda yang menjadi sahabatnya sejak masa yang lama. Mereka berdua telah melewati banyak peristiwa dan perasaan dalam kurun waktu yang panjang. Lalu kata Toh Kuning, ”Aku telah membebaskan jiwaku, Ken Arok. Seperti halnya guru yang telah meraih kebebasan maka itulah keadaanku sekarang ini.” “Tunggu!” Ken Arok berkata dengan keras, ”Apakah aku memukulmu dengan keras?” “Tidak, tetapi itulah yang terjadi pada diriku sekarang ini.” “Ini benar-benar malam yang gila bersamamu, Toh Kuning!” seru Ken Arok. Ia butuh waktu untuk mengerti perubahan yang terjadi pada kawan karibnya itu. Sejenak ia menarik napas panjang kemudian berkata, ”Baiklah. Baiklah. Kita anggap saja itu pasti terjadi, bahwa kau menjadi anak buah Mahesa Wunelang. Apakah kau akan melupakan perbuatannya?” “Melupakan perbuatannya dan mengampuni Mahesa Wunelang adalah dua sisi dari satu keping emas.” “Aku masih belum mengerti maksudmu tapi aku akan mencari penjelasan tentang kata-katamu itu pada orang lain.” “Kau akan bertanya pada siapa?” Ken Arok tesenyum padanya dan menepuk bahu Toh Kuning lalu berkata, ”Aku akan bertanya padamu jika kau tidak lagi terbentur benda keras.” “Aku akan berhenti berkelahi.” “Benarkah?” “Tidak.” Keduanya lalu tertawa terbahak. Ken Arok menarik napas panjang, lalu katanya, ”Toh Kuning, aku tahu alasan penyerangan prajurit Kediri pada padepokan Branjangan Putih. Bahkan aku telah mengetahui kedatangan kalian saat berhenti di simpang tiga.” Meskipun ia telah menduga Ken Arok sudah mengetahui pergerakan pasukan Kediri, tetapi Toh Kuning diam untuk menunggu penuturan Ken Arok lebih lanjut. “Aku mempunyai alasan untuk tidak mengabarkan kedatangan kalian pada Ki Branjangan Putih. Aku melihatmu bersama orang-orang Kediri,” kata Ken Arok kemudian. “Dan kau lebih memilih untuk mengkhianati orang-orang padepokan,” sahut Toh Kuning. “Itu bukan pengkhianatan,” sahut Ken Arok membela diri. ”Pengkhianatan adalah caramu untuk menyudutkanku dalam persoalan ini.” “Kau telah diselamatkan Ki Branjangan Putih dan kau membiarkan orang-orang Kediri datang menyerang kalian. Itu adalah pengkhianatan!” “Aku tidak ingin berkelahi hidup mati denganmu, Toh Kuning,” tukas Ken Arok. Ia mengatur napas sejenak, kemudian, ”Jika aku kembali ke padepokan dengan rencana penyerangan itu, pasti yang terjadi adalah kau akan melakukan perang tanding denganku. Atau aku akan mengambil Gubah Baleman sebagai lawan. Kita semua tahu kemungkinan yang akan terjadi adalah munculnya pilihan-pilihan yang tidak dapat dihindari.” “Lalu mengapa kau tidak melakukannya? Bukankah aku dapat menghadapi Ki Branjangan Putih?” “Aku tidak dapat membiarkanmu membunuhnya!” tukas Ken Arok. Toh Kuning merenung sesaat lalu, ”Pilihan yang tidak dapat dihindari.” “Kita lupakan kejadian yang telah kita lewati di padepokan,” kata Ken Arok dengan mata lurus menatap kawan karibnya. Ia meneruskan, ”Ada sebuah tujuan yang lebih besar dari apa yang kita saksikan di padepokan.” Ken Arok bangkit dari duduknya dan berjalan memutari Toh Kuning. Dengan pandang mata heran, Toh Kuning bertanya, ”Seberapa besar rencana itu?” “Sebuah rencana yang akan menjadi urusan besar. Dan jika kau telah menjadi seorang prajurit Kediri maka rencana itu sanggup menutup langit Kediri,” jawab Ken Arok, ”Ki Branjangan Putih bukan sekedar menimbun senjata dan melatih orang-orang untuk berbuat jahat. Ia telah mengetahui apa yang akan dilakukan Sri Baginda di masa depan. Sehingga ia merasa perlu untuk membuat persiapan agar dapat mencegah Kediri dari tindakan bodoh.” “Kebodohan seperti apa yang akan dilakukan oleh Sri Baginda? Justru kau bergabung dengan orang-orang bodoh karena dengan begitu kau terlihat gagah dan pasti menjadi pahlawan bagi mereka,” bantah Toh Kuning. “Aku tidak menyalahkanmu karena kau terlalu lama berada di padepokan, tapi aku akan katakan berita yang aku dengar,” kata Ken Arok, ”Sri Baginda ingin menjadikan Kediri sebagai negara yang berjaya dan lebih besar dari sekarang. Dan kita juga mengetahui bahwa Kediri selalu bergerak maju dari tahun ke tahun. Jalan-jalan  dibangun dan perdagangan antarwilayah semakin lancar. Orang-orang manca banyak berdatangan dengan berbagai urusan yang tentunya membawa keuntungan bagi Kediri.” Tiba-tiba wajah Ken Arok menjadi sendu. “Ketika kau telah menjalani wisuda sebagai prajurit, kau akan melihat apa yang tidak pernah kau harapkan untuk terjadi,” lirih Ken Arok berkata, ”mungkin kau akan mengalami pergulatan seperti yang terjadi padaku selama ini.” “Aku telah mempunyai bayangan seperti yang kau katakan,” kata Toh Kuning, ”aku tidak tahu apa yang menjadi rencana Sri Baginda selanjutnya. Lagipula aku hanya ingin melakukan keinginan guru yang sederhana.” Ken Arok kemudian duduk di depan Toh Kuning, ”Kita akan melakukan keinginan guru, dan itu akan kita mulai dari pekerjaan yang sederhana.” Sambil menganggukkan kepala, Toh Kuning berkata, ”Aku akan menjadi seorang prajurit.” “Aku akan ke Tumapel,” kata Ken Arok kemudian mengulurkan tangannya. Sejenak kemudian mereka bersalaman dan saling beradu pandang. Ada setangkup rasa rindu yang akan mengguncang mereka dalam waktu yang lama. Keduanya saling mencemaskan keadaan masing-masing apabila mereka mengambil jalan yang berbeda, namun kedua murid Begawan Bidaran telah membulatkan tekad untuk menjalankan pesan gurunya dengan usaha yang terbaik.  (bersambung)      

Sumber: