Minta Rp 1,1 M untuk Lolos Akpol, Novi Jadi Pesakitan Lagi
Surabaya, memorandum.co.id - Novi Aliansyah kembali didudukkan sebagai pesakitan untuk kedua kalinya karena penipuan calon taruna akademi kepolisian (Akpol). Dalam kasus ini, Novi memakai modus dengan mengaku sebagai anggota tim khusus siber pungli di Watannas Jakarta. Dia menjanjikan Triwahyuni Cindrawati bisa memasukkan anaknya sebagai anggota Akpol. Asalkan membayar sejumlah uang. Namun, setelah uang dibayar, anak Tri tidak lolos seleksi calon taruna Akpol. Jaksa penuntut umum Kusufi Esti Ridliani dalam dakwaannya menyatakan, Novi saling bertukar nomor HP dengan Tri. Keduanya kemudian berkomunikasi melalui WhatsApp terkait rencana memasukkan anak Tri, Aditya Febrian Valentino sebagai taruna Akpol. "Terdakwa berupaya meyakinkan Triwahyuni Cindrawati dengan beberapa kali mengirimkan foto terdakwa bersama pejabat-pejabat dan mengatakan sering memasukkan seseorang ke Akpol," ujar Kusufi saat membacakan surat dakwaan dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya Rabu (13/4). Tri yang percaya dan berencana memasukkan anaknya sebagai taruna Akpol 2021 mengirim uang secara bertahap ke Novi. Totalnya Rp 1,1 miliar. Uang itu janjinya akan digunakan untuk biaya bimbingan belajar, biaya pelatih jasmani dan untuk menyuap orang-orang Polda Jatim. Tri mentransfer hingga 38 kali dengan rincian sekali transfer mulai 1,5 juta hingga Rp 50 juta. Meski terdakwa meminta biaya bimbingan belajar pada 1 Desember 2020, tetapi Novi baru mengantar Aditya ke lembaga bimbingan belajar dua pekan setelahnya dengan biaya Rp 26,1 juta. Selain itu, latihan jasmani di Polda Jatim sebenarnya juga tidak dipungut biaya. "Peluang tersebut digunakan terdakwa untuk meminta uang kepada Triwahyuni sebagai biaya latihan jasmani, membelikan rokok pelatih. Dan untuk orang-orang Polda sebagai biaya pengurusan agar Aditya lulus Akpol 2021," tuturnya. Triwahyuni yang merasa telah mengeluarkan banyak uang meminta jaminan. Novi kemudian memberikan jaminan berupa sertifikat hak milik (SHM) tanah, salinan perjanjian jual beli dan surat kuasa menjual. Namun, ternyata jaminan tersebut tidak dapat digunakan. "Karena oleh terdakwa hanya diserahkan saja. Tidak disertai perjanjian notariil lainnya," ungkapnya. Aditya kemudian mengikuti tes seleksi taruna Akpol. Namun, dia tidak lulus tes akademik dan tes jasmani. Tri meminta pertanggungjawaban Novi. "Terdakwa menjanjikan untuk memasukkan Aditya melalui jalur khusus penambahan kuota. Meskipun terdakwa mengetahui tidak ada jalur khusus tersebut," ucapnya. Aditya akhirnya tetap tidak lulus Akpol. Uang yang diterima Novi ternyata memang tidak digunakan untuk mengurus anak itu agar lulus seleksi taruna Akpol. "Digunakan untuk kepentingan terdakwa sendiri antara lain memenuhi kebutuhan sehari-hari serta mentraktir orang yang dikenal terdakwa," katanya. Sementara itu, pengacara terdakwa, Herman Hidayat mengajukan eksepsi atau nota keberatan terhadap dakwaan jaksa. Namun, dia saat dikonfirmasi enggan menjelas alasannya eksepsi. "Nanti kami pelajari dulu," kata Herman seusai sidang. Untuk diketahui, dalam kasus sebelumnya Novi telah divonis selama 2 tahun dan 6 bulan penjara pada tingkat pertama (putusan Pengadilan Negeri Surabaya). Dia kemudian mengajukan banding. Apesnya ditingkat kedua yang diajukan ke pengadilan tinggi, Novi justru diganjar hukuman lebih berat yakni 3 tahun dan 6 bulan penjara. (jak)
Sumber: