Tilap Uang Pajak PTPN lX, Notaris Diadili

Tilap Uang Pajak PTPN lX, Notaris Diadili

Surabaya, memorandum.co.id - Dugaan penggelapan pajak pembelian sebesar Rp 5,8 miliar menyeret salah satu notaris di Surabaya. Dia adalah Yuli Andriyani. Jaksa Penuntut Umum mendakwa wanita 44 tahun dengan pasal tunggal yakni 372 KUHP. Kasus yang menjerat Yuli bermula saat PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX membeli sebidang tanah seluas 3.678.100 meter persegi dari PT Baluran Indah. Untuk pengurusan jual beli lahan itu lalu dipercayakan kepada Yuli. Notaris yang berkantor di Ruko Villa Bukit Mas itu mempunyai tugas mengurus akta jual beli termasuk membayar bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Pihak PTPN lX lalu membayar pajak pembelian dengan menyerahkan uang Rp 5,8 miliar kepada Yuli Andriyani. Ternyata, uang tersebut tidak digunakan untuk membayar BPHTB. Yuli malah menggunakan uang tersebut untuk membayar utang-utangnya. Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rakhmad Hari Basuki dijelaskan, PTPN IX awalnya membeli lahan yang berlokasi di Wonorejo, Situbondo. Pembelian itu berasal dari uang dari kredit investasi Bank Muamalat senilai Rp 250 miliar pada 2017. Rencananya, tanah dengan alas hak sertifikat hak guna usaha (SHGU) dengan nomor 4/Desa Wonorejo atas nama PT Baluran Indah itu digunakan sebagai lahan tebu. PTPN IX dan PT Baluran lalu melakukan penandatanganan beberapa akta di hadapan terdakwa Yuli selaku notaris. Di antaranya, akta perjanjian pengikatan jual beli, akta kuasa untuk menjual dan akta perjanjian pemberian line facility (muharabah). PTPN selanjutnya membayar pembelian tanah itu senilai Rp 116,5 miliar ke PT Baluran dari uang pencairan kredit investasi Bank Muamalat. Biaya pengurusan balik nama dan pemasangan hak tanggungan SHGU senilai Rp 517,1 miliar juga sudah dibayarkan PTPN kepada terdakwa Yuli. Sementara untuk biaya lainnya juga sudah dibayarkan kepada terdakwa. Termasuk pajak penjual dan pembeli senilai Rp 8,7 miliar. Rinciannya, pajak penjual Rp 2,9 miliar dan pajak pembeli Rp 5,8 miliar. "Yang sudah dibayarkan PTPN IX kepada terdakwa dan akan dibayarkan atau diselesaikan terdakwa selaku notaris paling lambat 11 April 2018," jelas JPU Hari saat membacakan dakwaannya dalam di ruang Cakra Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (7/3). Ternyata, sambung JPU, usai batas waktu yang ditentukan terdakwa ternyata hanya membayarkan pajak penjual Rp 2,9 miliar saja. Sedangkan pajak pembeli senilai Rp 5,8 miliar belum terdakwa bayarkan. "Terdakwa mengatakan pajak pembeli akan dibayarkan saat penandatanganan akta jual beli yang diperkirakan pada September 2018. Dia meminta kepada Bank Muamalat agar memberikan perpanjangan waktu," imbuh JPU. Lebih lanjut JPU menjelaskan Bank Muamalat mengingatkan terdakwa Yuli agar segera mengembalikan uang itu jika tidak kunjung digunakan untuk membayar BPHTB. "Yuli kembali memohon waktu agar diberikan perpanjang waktu dengan alasan Kantor Pertanahan (Kantah) Situbondo sedang libur panjang Idul Fitri," jelasnya. Selain itu, diterangkan JPU bahwa terdakwa juga sempat meminta bantuan kepada koleganya Soejono untuk mengurus perpanjangan SHGU tanah tersebut di Kantor Tanah (Kantah) Situbondo. Permohonan itu kemudian diurus Kantah hingga terbit kode pembayaran BPHTB atas nama PTPN IX senilai Rp 5,8 miliar. "Soejono selaku notaris menghubungi terdakwa dengan maksud agar segera membayar atau mengirimkan uang untuk pembayaran BPHTB, namum terdakwa tidak membayar atau mengirimkan uang kepada Soejono," terangnya. Karena tidak kunjung ada pembayaran, Bank Muamalat terpaksa mencairkan dana talangan Rp 9,3 miliar untuk menunjuk notaris baru yang akan membayarkan BPHTB dan urusan lain terkait jual beli tanah itu. "Pihak bank terpaksa menunjuk notaris baru untuk menggantikan terdakwa Yuli, karena tidak segera membayar BPHTB. Padahal, pihak bank sudah ditagih PTPN IX terkait perkembangan jual beli lahan tersebut," kata JPU. Atas perbuatannya, bank Muamalat mengalami kerugian Rp 5,8 miliar. Selain itu, jual beli tanah itu terhambat dan timbul biaya baru lagi untuk mengurus ulang. Sementara itu, pengacara terdakwa, Aning Wijayanti mengatakan saat ini kasus tersebut masih dalam proses pembuktian. Jadi wajib mengedepankan asas praduga tak bersalah. "Kasus ini terkait dengan pajak penjualan dan pembelian. Saya masih meyakini bahwa klien saya tidak mempunyai hubungan hukum dengan Bank Muamalat perihal yang disangkakan oleh jaksa," beber Aning saat ditemui usai sidang di PN Surabaya. (jak)

Sumber: