Harga Kedelai Meroket, Pertani HKTI Jatim Dorong Produksi Dalam Negeri

Harga Kedelai Meroket, Pertani HKTI Jatim Dorong Produksi Dalam Negeri

Surabaya, memorandum.co.id - Beberapa waktu yang lalu, perajin tempe dan tahu di Surabaya Raya kompak menghentikan kegiatan produksi. Aksi mogok itu dilakukan selama 3 hari, terhitung sejak Senin (21/2) hingga Rabu (23/2). Secara tegas, alasan paguyuban perajin tempe dan tahu tersebut adalah sebagai keprihatinan terhadap kenaikan harga kedelai yang semakin melejit dan tak terkendali. Harga kedelai yang semula Rp 9.300/kg naik menjadi Rp 11.500/kg. Menurut Lia Istifhama, Ketua Perempuan Tani HKTI Jatim, kenaikan tersebut memberatkan para perajin tempe dan tahu. Fakta tersebut pun terjadi tak hanya di Surabaya, namun juga di Mojokerto dan Jombang. “Persoalan kenaikan harga kedelai ini menjadi salah satu fakta lapangan yang masih intens terjadi. Jika kita observasi, salah satu faktor utama adalah ketergantungan pada impor kedelai, terutama dari Amerika Latin, yaitu Brazil dan Argentina,” terang Ning Lia, sapaan lekatnya, Jumat (25/2/2022). Sehingga Ning Lia menjelaskan, pentingnya sebuah solusi dari sektor hulu. Sebab kenaikan harga kedelai tersebut disebabkan oleh ketergantungan pada impor kedelai. “Alternatif atau solusi terbaik memang mengatasi dari sektor hulu atau sebab musabab impor kedelai," tandasnya. Ning Lia berharap tidak terjadi ketergantungan impor. Dengan kata lain, dia mendorong sumber kedelai diperoleh dari negeri sendiri. Dari sana nantinya bisa dilakukan peningkatan produksi secara lokal tanpa harus dipengaruhi faktor inflasi negara lain. Namun terlepas dari itu semua, kedelai impor masih dianggap lebih tepat sebagai bahan baku tempe oleh para perajinnya. “Namun mungkin, hal tersebut belum maksimal dapat diwujudkan karena kedelai impor merupakan preferensi atau pilihan sebagai bahan produksi tempe. Sesuai pengalaman kami saat turun di lapangan, para perajin tempe menggunakan kedelai impor dengan beberapa alasan, di antaranya harga yang lebih murah dan ketersediaan di pasar melimpah," jelasnya. Ning Lia mengaku, berbicara ketersediaan kedelai bisa menjadi wacana yang sangat penting. "Mengapa petani banyak yang memilih padi dan enggan kedelai? Saya kira ini PR bersama agar menggarap kedelai juga untuk menjadi profesi yang menjanjikan bagi petani agar kemandirian pasokan kedelai bisa terwujud," tandasnya. Sementara itu, Akhmad Luthfy Ramadhani, salah satu perajin tempe asal Mojokerto merasa khawatir jika harga kedelai terus melonjak naik. Apalagi menurutnya tempe adalah makanan merakyat yang digemari semua kalangan. Yang memiliki harga tergolong murah dan mengandung protein tinggi. "Namun jika harga naik, maka tempe tidak bisa lagi disebut makanan sehat yang merakyat. Jika perajin memaksa memproduksi tempe saat bahan baku tinggi, tentu tidak diterima di pasar. Dengan begitu, bagaimana bisa tetap produksi secara lancar? Khawatirnya, akan banyak yang gulung tikar," ungkapnya. (bin)

Sumber: