Cinta Pertama, Mengaku Bersaing dengan Adik Kandung

Cinta Pertama, Mengaku Bersaing dengan Adik Kandung

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Dono (27, bukan nama sebenarnya) tidak pernah dekat dengan perempuan. Rina, teman kuliah, adalah satu-satunya perempuan yang sanggup memikat hati Dono. Rina adalah adik kelas, tetapi beda fakultas dan jurusan. Mereka kali pertama bertemu di forum ospek (orientasi studi dan pengenalan kampus). Rina sebagai maba (mahasiswa baru), sedangkan Dono sebagai panitia. “Aku jatuh hati pada pandangan pertama, Om,” kata Dono ketika kami bertemu pada jalan sehat HUT kemerdekaan RI di Kecamatan Paciran, tempat tinggal mertua Memorandum, akhir Agustus lalu. Pembicaraan itu terbuka ketika Memorandum bertanya apakah Dono sudah nikah dan punya momongan. Dia spontan menjawab kisah cintanya ruwet. Gadis yang dia cintai ternyata pernah perpacaran dengan adik kandungnya. “Ternyata kami mencintai gadis yang sama. Tetapi bukan itu masalahnya.” Kisahnya berawal di sebuah foum ospek di sebuah peruruan tinggi negeri di Kota Pahlawan. Sebagai salah satu panitia, Dono mendekati Rina yang selalu memilih menyendiri di sela kegiatan. Wajahnya murung. Ketika ditanya, gadis yang mengaku berasal dari Madiun itu mengatakan tidak ada apa-apa. Hatinya hanya sedih karena berpisah dari orang tua. Waktu itu Dono juga mengaku berasal dari kota yang sama, Madiun. Setelah itu mereka menjalani aktivitas masing-masing. Tidak ada yang berarti, sampai menjelang akhir ospek, Dono dipanggil teman panitia yang lain, “Don, ada maba dari Madiun yang pingsan. Samperin tuh. Cewek, cakep.” Ternyata maba itu Rina. Pada saat itulah Dono memperhatikan Rina dengan seksama. “Orangnya cantik. Tapi sepertinya sedang memendam masalah. Tampak ada aura hitam di wajahnya,” kata Dono. Dono ikut membantu menyadarkan Rina bersama beberapa mahasiswi. Sekitar sejam kemudian Rina siuman. Orang pertama yang dilihatnya adalah Dono, karena dua panitia lain mengikuti upacara penutupan. Tiba-tiba Rina memeluk Dono. “Terima kasih Kak,” katanya. “Untung saat itu tidak ada orang lain. Kalau ada, aku pasti di-bully habis-habisan. Aku lantas menenangkan Rina,” cerita Dono. Hari itu Dono mengantarkan Rina ke tempat tinggalnya. Rumah yang mungil tapi bersih. “Ini rumahku, Kak. Rumah kecil-kecilan. Memang disediakan khusus untuk aku. Daripada kontrak atau indekos,” jelas Rina, yang tinggal di rumah itu bersama seorang pembantu. Sejak itu hubungan Rina dan Dono menjadi akrab. Walau begitu, mereka tidak pernah membicarakan keluarga masing-masing. Untuk menjaga privasi. Mereka memang berusaha menjaga agar tidak terlalu jauh mencampuri urusan orang lain. Hingga suatu hari Rina mendapatkan kabar, entah apa. Dono tidak berani bertanya. Waktu ini hari Minggu dan Dono dolan ke rumah Rina. Dia hanya meminta Rina bersabar ketika melihat gadis berhijab itu menahan tangis. Wajahnya merebak dan matanya basah. “Kakak bisa meninggalkan aku sendirian?” pinta Rina. “Kenapa? Apakah Kakak tidak bisa meringankan beban Rina?” (bersambung)

Sumber: