Mulai Meluruskan Niat Menjalankan Semua Semata karena Allah

Mulai Meluruskan Niat Menjalankan Semua Semata karena Allah

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Inilah bagian terakhir email Akiari yang dikirimkan ke Memorandum. Masih soal dialog antara dirinya dengan sang suami, Erfan. Bagian akhir ini tetap kami muat sesuai tulisan aslinya. Dengan penuh kesantunan, Kak Erfan meneruskan kata-katanya, “Kakak yakin bahwa kau menerima pinangan Kakak itu karena terpaksa. Kakak juga memelajari sikapmu saat di pelaminan. Begitu sedihnya hatimu saat bersanding di pelaminan bersama Kakak. Lantas, haruskah Kakak egois dengan mengabaikan apa yang kau rasakan saat itu? Sementara tanpa mempedulikan perasaanmu, kakak menunaikan kewajiban Kakak sebagai suamimu di malam pertama. Semenatara, kau sendiri akan mematung dengan deraian air mata karena terpaksa melayani Kakak? Kau istriku Dek, sekali lagi kau istriku. Kau tahu, Kakak sangat mencintaimu. Kakak akan menunaikan semua itu manakala di hatimu telah ada cinta untuk Kakak. Agar kau tidak merasa diperkosa hak-hakmu. Agar kau bisa menikmati apa yang kita lakukan bersama. Alhamdulillah apabila hari ini kau telah mencintai Kakak. Kakak juga merasa bersyukur bila kau telah melupakan mantan kekasihmu itu. Beberapa hari ini Kakak perhatikan kau juga telah menggunakan busana muslimah yang syar’i. Pinta Kakak kepadamu Dek, luruskan niatmu, kalau kemarin kau mengenakan busana itu untuk menyenangkan hati Kakak semata, maka sekarang luruskan niatmu. Niatkan semua itu untuk Allah ta’ala, selanjutnya bari untuk Kakak.” Mendengar semua itu, aku memeluk suamiku. Aku merasa bahwa dia adalah lelaki terbaik yang pernah kujumpai selama hidupku. Aku bahkan telah melupakan Andi. Aku merasa bahwa malam itu aku adalah wanita yang paling bahagia di dunia. Sebab, meski dalam keadaan sakit, untuk kali pertama Kak Erfan mendatangiku sebagai seorang suami. Hari-hari kami lalui dengan bahagia. Kak Erfan begitu sangat kharismatik. Terkadang dia seperti seorang kakak buatku, terkadang seperti orang tua. Darinya aku banyak belajar banyak hal. Perlahan aku mulai meluruskan niatku dengan menggunakan busana yang syar’i, semata-mata karena Allah dan untuk menyenangkan hati suami. Sebulan setelah malam itu, dalam rahimku telah tumbuh benih-benih cinta kami berdua. Alhamdulillah, aku sangat bahagia bersuamikan dia. Darinya aku belajar banyak tentang agama. Hari demi hari kami lalui dengan kebahagiaan. Ternyata dia mencintaiku lebih dari apa yang aku bayangkan. Dulu aku hampir saja melakukan tindakan bodoh dengan menolak pinangannya. Aku pikir kebahagiaan itu akan berlangsung lama di antara kami, setelah lahir Abdurrahman, hasil cinta kami berdua. Di akhir 2008, Kak Erfan kecelakaan dan usianya tidak panjang. Kak Erfan meninggal sehari setelah kecelakaan tersebut. Aku sangat kehilangan. Aku seperti kehilangan penopang hidup. Aku kehilangan kekasihku. Aku kehilangan murobbi-ku, aku kehilangan suamiku. Tidak pernah terbayangkan bahwa kebahagiaan bersamanya begitu singkat. Yang tidak pernah aku lupakan di akhir kehidupannya Kak Erfan, dia masih sempat menasehatkan sesuatu padaku, “Dek, pertemuan dan perpisahan itu fitrahnya kehidupan. Kalau ternyata kita berpisah besok atau lusa, Kakak minta kepadamu, jaga Abdurrahman dengan baik. Jadikan dia sebagai mujahid yang senantiasa membela agama. Senantiasa menjadi yang terbaik untuk umat. Didik dia dengan baik Dek, jangan sia-siakan dia.” (habis)  

Sumber: