Mulai Didera Rindu bila Suami Tidak Berada di Rumah
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Dia begitu santun terhadap orang-orang dan begitu patuh kepada kedua orang tua. Bahkan terhadap aku pun, hampir semua kewajiban telah dia tunaikan dengan hikmah. Tidak pernah sekali pun dia bersikap kasar dan berkata-kata keras kepadaku. Kak Erfan bahkan terlalu lembut bagiku. Satu yang belum dia tunaikan, yaitu memenuhi nafkah batinku. Aku sendiri saat mendapat perlakuan darinya setiap hari yang begitu lembut mulai menumbuhkan rasa cintaku kepadanya dan membuatku perlahan-lahan melupakan masa laluku bersama Andi. Aku bahkan mulai merindukannya tatkala dia sedang tidak di rumah. Aku bahkan selalu berusaha menyenangkan hatinya dengan melakukan apa-apa yang dia anjurkan lewat ceramah-ceramahnya pada wanita-wanita muslimah, yakni mulai memakai busana muslimah yang syar’i. Dua hari setelah pernikahan kami, Kak Erfan memberiku hadiah yang diisi dalam karton besar. Semula aku mengira hadiah itu adalah alat-alat rumah tangga. Setelah kubuka, ternyata isinya lima potong jubah panjang berwarna gelap, lima buah jilbab panjang sampai selutut juga berwana gelap, lima buah kaos kaki tebal panjang berwarna hitam, dan lima pasang manset berwarna gelap pula. Jujur saat membukanya aku sedikit tersinggung, sebab yang ada dalam bayanganku bahwa inilah konsekuensi menikah dengan seorang ustaz. Aku mengira bahwa dia akan memaksa aku untuk menggunakannya. Ternyata dugaanku salah sama sekali. Sebab, hadiah itu tidak pernah disentuhnya atau ditanyakannya. Kini aku mulai menggunakannya tanpa paksaan siapa pun. Kukenakan busana itu agar dia tahu bahwa aku mulai menganggapnya istimewa. Bahkan, kebiasaannya mengaji sebelum tidur sudah mulai aku ikuti. Kadang ceramah-ceramahnya di masjid sering aku ikuti dan aku praktikkan di rumah. Tapi satu yang belum bisa aku mengerti darinya. Entah mengapa hingga enam bulan pernikahan kami, dia tidak pernah menyentuhku. Setiap masuk kamar, sebelum tidur, dia selalu mengawali dengan mengaji, lalu tidur di atas hamparan permadani di bawah ranjang hingga terjaga lagi di sepertiga malam, lalu melaksanakan salat Tahajud. Hingga suatu saat Kak Erfan jatuh sakit. Tubuhnya demam dan panasnya sangat tinggi. Aku sendiri bingung bagaimana cara menangani. Sebab, Kak Erfan sendiri tidak pernah menyentuhku. Aku khawatir dia akan menolakku bila aku menawarkan jasa membantunya. Ya Allah..apa yang harus aku lakukan saat ini? Aku ingin sekali meringankan sakitnya, tapi apa yang harus saya lakukan? Malam itu aku tidur dalam kegelisahan. Aku tak bisa tidur mendengar embusan napasnya yang sesak. Kudengar Kak Erfan pun sering mengigau kecil. Mungkin karena suhu panasnya yang tinggi, sehingga ia selalu mengigau. Sementara malam begitu dingin, hujan sangat deras disertai angin yang bertiup kencang. Kasihan Kak Erfan, pasti dia sangat kedinginan saat ini. Perlahan aku bangun dari pembaringan dan menatapnya yang sedang tertidur pulas. Kupasangkan selimutnya yang sudah menjulur kekakinya. Ingin sekali aku merebahkan diri di sampingnya atau sekadar mengompresnya. Tapi, aku tak tahu bagaimana harus memulainya. Hingga akhirnya aku tak kuasa menahan keinginan hatiku untuk mendekatkan tanganku di dahinya untuk meraba suhu panas tubuhnya. (bersambung)
Sumber: