Bermain Api Terbakar (1)
Tinggal Beda Kota
Siapa saja menginginkan keluarganya harmonis. Bahagia. Mampu melewati badai seberat apa pun. Itu pula yang diharapkan Santi (samaran), warga Wiyung. Sayangnya bukan itu yang dialami Santi. Lebih dari lima tahun pernikahan, amat banyak cobaan menerpa. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa Santi belum dikaruniai momongan. “Itu masalah terbesar kami,” tutur Santi kepada pangacara yang berkantor tak jauh dari Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, beberapa waktu lalu. Santi lantas bercerita bahwa di awal nikah, ia dan suami tinggal di kota berbeda. Santi di Surabaya bersama orang tua, sedangkan suaminya, sebut saja Hendro, tinggal di Nganjuk. Kerja di sana membantu ayahnya mengelola perusahaan garmen. Setengah tahun kemudian baru Santi menyusul suaminya ke Nganjuk. Setelah selesai mengurus kepindahan kerja sebagai aparatur sipil Negara. “Akhirnya aku bisa mengikuti suami. Sungguh kami amat bersyukur dan bahagia. Tapi tak kusangka, itulah awal penderitaan panjangku,” imbuh Santi. Menurut Santi, kali pertama yang ditanyakan mertuanya, terutama mertua perempuan, sebut saja Bunda Lina, adalah kehamilan. “Sudah enam bulan lho, kok belum isi? Hendro malas-malasan ya?” kata Bunda Lina sambil mengelus perut Santi, sebagaimana ditirukan Santi. “Mas Hendro rajin kok Mam. Mungkin belum beruntung saja,” jawab Santi asal nyeplos. Bukan hanya hari itu, hari-hari berikutnya Bunda Lina tidak pernah lupa membuka percakapan soal kehamilan Santi. Intinya sama: mempertanyakan kehamilan, hanya redaksinya berbeda-beda. Dan, itu pasti menyakitkan hati sang menantu. Semakin hari bukan semakin reda, omongan Bunda Lina yang menggugat kehamilan Santi makin panas dan membikin perih. Hampir tiap perkataannya mengandung sindiran. Apalagi setelah usia pernikahan Santi dan Hendro menginjak usia kedua. “Sebenarnya aku pernah mengusulkan agar kami dites kesuburan, tapi mereka (keluarga Hendro, red) tidak sepakat,” kata Santi. Alasan Bunda Lina sangat menyakitkan di telinga Santi. Dengan tandas Bunda Lina menjelaskan bahwa Hendro tidak mungkin mandul. Bunda Lina lantas menjelaskan bahwa dirinya saja punya tujuh anak, termasuk Hendro yang anak nomor lima. Kakak-kakak dan sebagian adik Hendro juga terbukti subur. Masing-masing punya banyak anak, minimal dua. “Keluarga kami subur-subur semua. Masak Hendro masih diragukan? Pokoknya kami menolak kalau Hendro harus dites. Yang lain harus sadar dan tahu diri,” kata Bunda Lina ketika bertemu keluarga Santi, suatu saat. Beruntung keluarga Santi sabar dan bisa menerima cemoohan Bunda Lina. Justru Santi yang panas dan ingin muntab. “Kalau Ibu tidak menahan tasanya aku mau ngremes mulut mertua yang pedes itu,” kata Santi. Sikap mertua yang merendahkan Santi dan keluarganya mulai menimbulkan rasa benci. Bukan hanya kepada ibu mertua, namun sudah merembet ke ayah mertua dan Hendro, yang dinilai Santi turut andil mendukung pernyataan Bunda Lina. Merasa direndahkan Bunda Lina, Santi yang awalnya semangat memeriksakan kesuburan bersama Hendro mulai surut. Niat untuk memeriksakan diri sendiri pun ikut hilang. Santi tak peduli. Mau hamil atau tidak, bukan urusan orang lain. “Sampai tua tidak punya anak ya biarin,” rutuk Santi dalam hati. Kebencian kepada Hendro makin subur karena lelaki tersebut dirasakan Santi mulai menjauh. Tidak pernah lagi mengajak jalan-jalan. Tidak pernah lagi mengajak makan malam bersama atau sekadar nonton TV bersama di ruang keluarga. Hendro menjadi sosok yang dingin. Cuek. Tak peduli. Dll. Dsb. Dst. Santi tidak tinggal diam. Dia pun berubah jadi suka bermalas-malasan. Perempuan yang dikenal jago masak ini lebih sering membeli makanan jadi di warung sebelah. Kalau ingin lebih mewah ya pakai jasa layanan antar. Omelan Hendro, terlebih oleman Bunda Linda, hanya didengar Santi dari telinga kiri dan diembus keluar melalui telinga kanan. “Sepulang kerja aku langsung tidur. Sampai pagi. Begitu bangun langsung bersiap-siap kerja. Begitu seterusnya,” kata Santi. (jos, bersambung)Sumber: