Antara Aku, Kau dan Bekas Koranku

Antara Aku, Kau dan Bekas Koranku

Oleh: Didik Farkhan, Kepala Pusat Data Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi, Kejaksaan Agung. Sebelum masuk Kejaksaan pada 1994, saya dulu seorang wartawan. Ya, wartawan harian Memorandum, Surabaya. Sebuah harian yang hingga saat ini masih eksis di usianya ke-52 tahun. Pilihan menjadi wartawan memang cita-cita sejak kuliah. Maklum saat kuliah saya sudah ‘terjebur’ aktif di dunia pers mahasiswa. Pernah menjabat pemimpin redaksi sampai pemimpin umum di majalah mahasiswa hukum Universitas Brawijaya yang bernama Manifest. Pengalaman menjadi wartawan ternyata menempa perjalanan hidup sampai sekarang. Termasuk menjadi Jaksa. Karena prinsip-prinsip kerja wartawan hampir 11-12 dengan Jaksa. Seperti jaksa harus bisa menulis. Maklum 50 persen pekerjaan Jaksa saat menyidangkan perkara adalah menulis. Mulai membuat surat dakwaan, verzet (perlawanan), surat tuntutan, duplik, memori banding, kasasi. Juga jaksa harus bisa seperti  wartawan yang human relation-nya harus bagus. Fisik dan mental harus kuat berhadapan dengan semua orang. Harus ‘tahan banting’ dan harus ada ‘passion’ (semangat kerja yang luar biasa). Maklum ritme kerja wartawan tidak mengenal waktu. Setiap hari harus keliling ke sumber-sumber berita.  Harus keliling dari kantor ke kantor. Dari jalan ke jalan. Karena peristiwa yang bernilai berita bisa terjadi setiap saat. Saya masih ingat, karena IT jaman dulu, 1993-1994 belum semaju sekarang hanya untuk membuat berita foto saja harus mencetak dulu ke studio foto. Harus menunggu hasilnya. Lalu untuk mengirim foto ke redaksi harus lari-lari ke terminal karena foto dikirim titip kenek bus yang ke Surabaya. Demikian juga untuk membuat berita, wartawan saat itu penuh perjuangan. Harus balik rumah atau nebeng di kantor JPNN. Maklum harus mengetik di  Komputer (PC), lalu mencetaknya. Karena saya wartawan di tempatkan di daerah, mengirimnya lewat fax di wartel. Harus antri juga. Tentu kondisi ini berbeda dengan wartawan saat ini. Berkat kemajuan IT  saya lihat wartawan sekarang alatnya cuma satu: smartphone alias hand phone (HP) pintar. Mulai dari foto, video dan mengirim hasilnya cukup dengan HP. Plus membuat berita juga cukup mengetik lewat HP.  Istilahnya all in one lah. Satu untuk semua. Bagiamana Nasib Koranku? Ketika saya jadi wartawan pada 1993,  kondisi semua koran  pas berada di puncak keemasan. Oplah Jawa Pos misalnya, menyentuh 300.000 eksemplar. Memorandum juga mencapai puncak: oplahnya pernah 60.000 ribu eksemplar. Iklan pun berdatangan. Hmmm....pokoknya lagi jaya-jayanya lah. Kondisi itu berbanding terbalik saat sekarang. Semua media cetak ‘sekarat’. Kalah bersaing dengan media online. Bahkan kalah dengan medsos. Terutama kalah di kecepatan penyampaian (maklum koran harus dicetak dulu). Juga kalah praktis. Bagaimana bekas koranku Memorandum? Pasti nasibnya tidak jauh beda. Pasti juga mengalami penurunan oplah. Itu satu hal yang tidak bisa ditutupi. Kondisi umum yang dialami semua koran. Tidak tutup saja itu bagi saya suatu prestasi buat Memorandum. Saya melihat daya juang awak Memorandum luar biasa. Ditengah kondisi koran yang semua sekarat, Memorandum masih eksis. Masih ada bisa merayakan ultah ke-52 tahun. Memang kematian semua media cetak (koran, majalah, tabloid) sudah lama diramal. Rupert Murdoch, CEO News Corp, pada 2000 sudah meramal media cetak akan mati pada 2020. Demikian juga Nielson dalam risetnya juga memprediksi media cetak akan mati pada 2020. Ramalan itu sudah nyata, ketika sekitar 20 koran, tabloid dan majalah di Indonesia tutup. Alias tidak terbit lagi. Kini tahun sudah 2021. Berarti ramalan Rupert Murdoch dan Nielson tidak berlaku untuk Memorandum. Karena tidak mati di tahun 2020. Berarti Memorandum ibarat orang sakit sudah melewati masa kritis. Berarti menjadi sehat. Kini saya tinggal di Jakarta. Rumah dekat  Pancoran. Setiap lewat tugu Pancoran selalu ingat lirik lagunya Iwan Fals: Si Budi kecil penjaja koran di tugu Pancoran.  Tetapi saya sudah tidak menemukan lagi penjaja koran di Pancoran. Dulu saya masih ingat saat rapat redaksi, selalu terngiang: kiblat memo adalah koran Pos Kota di Jakarta. Koran spesialis berita kriminal yang kaya karena iklan barisnya top nomor satu.  Oplahnya hampir sama dengan Kompas. Kini saya juga jarang lihat koran Pos Kota. Konon juga ‘hidup segan mati tidak mau’. Berarti masih hebat Memorandum yang sampai kini masih eksis. Masih bisa merayakan ultah ke-52 tahun. Selamat ya untuk bekas Koranku: Memorandum. Selamat ulang tahun 10 November 1969-2021, semoga tetap sehat selalu. Selamat juga untuk para awak Memorandum. Mulai dari teman-teman wartawan, redaksi dan seluruh pekerja di Memorandum. Mulai tukang lay out, grafis sampai para loper koran yang masih setia dan bekerja keras untuk tetap menghidupkan Memorandum. Sekali lagi saya ingat lagu Iwan Fals: Antara Aku, Kau dan Bekas Pacarmu, yang menginspirasi judul tulisan singkat ini he he. (*/iku/ono)

Sumber: