Sabu di Lapas! Kata Siapa?

Sabu di Lapas! Kata Siapa?

Berita soal peredaran narkotika dikendalikan dari lembaga pemasyarakatan (lapas) dan atau rumah tahanan (rutan) sering terungkap di media massa. Sesering itu pula dibantah pejabat yang berkepentingan (baca: kalapas dan atau karutan). Berbagai alasan disampaikan sebagai bentuk pembenaran dan atau pembelaan. Dikatakan itu sebagai upaya orang atau sekelompok masyarakat tertentu yang tak bertanggung jawab mempermalukan lembaga hukum plus aparat. Seakan lembaga hukum seperti lapas dan rutan benar-benar menjadi “sarang” atau “surga” narkotika yang tak tersentuh hukum hingga bebas leluasa menjadi peredaran narkotika. Bukan hanya itu, hujatan yang menyudutkan bagi lapas dan atau rutan terus bertubi-tubi menghajar hingga image buruk melekat terhadap lembaga itu. Ini yang membuat para pejabatnya berdalih secara keras tak mengakui tudingan-tudingan miring tentang lapas dan atau rutan sebagai tempat yang nyaman untuk bertransaksi narkotika. Fakta dan bantahan boleh ada, dan itu hal biasa. Fakta dan bantahan selalu berbeda arti dan makna. Fakta bilang “A” boleh jadi bantahan ngomong “B”. Tidak klop. Dan ini sering terjadi di mata hukum kita. Sebagai contoh keputusan Pengadilan Negeri Surabaya yang mengadili terdakwa Andrew Indra Saputra, beberapa waktu lalu. Majelis hakim yang diketuai Ni Made Purnami menjatuhkan vonis bersalah terhadap Andrew Indra Saputra dengan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 2,5 miliar subsider tiga bulan kurungan. Putusan itu lebih ringan dua tahun dari tuntutan JPU Siska dalam persidangan sebelumnya menuntut tujuh tahun penjara dan denda Rp 2,5 miliar subsider enam bulan kurungan. Vonis majelis hakim jatuh didasarkan atas fakta persidangan. Di persidangan terdakwa mengaku pernah mendekam di Lapas Porong dan mendapatkan sabu dari sesorang bernama Pakde di Lapas Porong. Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Kelas I Surabaya Porong Gun-Gun Gunawan pun membantah. Inilah fakta. Tapi pertanyaannya, apa mungkin keputusan pengadilan negeri bisa dikalahkan oleh bantahan seorang kalapas? Apa keputusan Pengadilan Negeri Surabaya diputuskan secara asal-asalan alias ngawur? Atau juga apa keputusan pengadilan negeri tidak berdasarkan fakta-fakta? Menjawab pertanyaan seperti itu tidak mudah. Dibutuhkan data akurat karena keputusan pengadilan mengikat alias bersifat wajib dilaksanakan demi penegakan hukum. Apalagi setiap keputusan pengadilan dipastikan telah melewati banyak tahapan sejak persoalan hukum itu muncul di institusi kepolisian. Sehingga keputusan Pengadilan Negeri Surabaya terhadap kasus Andrew Indra Saputra atau semacamnya layaknya diambil di atas kebenaran yang adil dan bermartabat. Nah, belajar dari kasus Andre Indra Saputra yang secara terang benderang terpapar jelas dalam persidangan dan ada bantahan kalapas, bukan tidak mungkin kasus serupa yang tak terekspos media massa jumlahnya bejibun alias ribuan. Maka Kementerian Hukum dan HAM Indonesia wajib memberantasnya meski didukung atau tidak oleh Komisi III DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia). Jika tidak, tentu kehadiran Presiden Republik Indonesia (saat ini Joko Widodo) wajib membereskannya agar bau harum penegakkan hukum tidak dikotori dan dibuat mainan oknum-oknum aparat hingga mempertegas sabu dan lapas bisa jadi seiring sejalan.(*)      

Sumber: