Cinta di Bawah Guna-Guna (4)

Cinta di Bawah Guna-Guna (4)

Diajak Menemui Kiai

Ternyata Danang sudah tidak kerja. Karyawan bagian purchasing itu dikeluarkan lantaran ketahuan menilap uang perusahaan. Dia di-PHK sebulan sebelum nikah. Celakanya, fakta ini baru diketahui Tami setelah pernikahan. Ketika akhir bulan tiba dan Tami menagih uang belanja, Danang berusaha menghindar. Bulan pertama berhasil. Tapi pada bulan berikutnya tidak bisa mengelak dan terpaksa Danang mengakui keberadaannya sebagai penganggur. Tentu saja Tami shock. Walau begitu, dia tidak mampu memarahi Danang. Ada rasa kasihan melihat wajah Danang yang tampak innocent. Tami berusaha bersabar dan menerima kondisi ini sebagai cobaan. Ternyata tidak hanya sebulan-dua bulan, masa menganggur Danang berkelanjutan seperti tiada akhir. Tami selalu mendorong Danang mencari pekerjaan baru, namun Danang tampaknya kurang bersungguh-sungguh mencari kerja. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk cangkrukan dan keluyuran tanpa tujuan. Namun setiap ditanya, Danang selalu menjawab sedang cari kerja. “Padahal tidak,” kata Dina membantu Tami bercerita kepada Ikin. “Danang sering pulang dalam kondisi mabuk,” sela Tami. “Dia sih tidak bisa keras kepada suami,” kata Dina sambil menuding Tami. Tami hanya mengangguk ketika Ikin bertanya betul atau tidak. “Kasihan,” kata Tami. Selama hidup dengan Danang, Tami dinilai Dina seperti sapi perah yang hanya diambil susunya. Soal uang belanja, misal. Danang tidak pernah memberi sekali pun, tapi justru selalu meminta. Kecurigaan Dina bahwa Tami diguna-guna Danang kembali muncul ketika suatu tengah malam melihat Danang yang baru datang entah dari mana menaburkan sesuatu di depan rumah kos dan di depan kamar Tami. Waktu itu kebetulan Dina hendak ke kamar mandi karena sakit perut. Hendak BAB. Tapi diurungkan lantaran mules-mules-nya mendadak hilang melihat sikap Danang dari jendela kamarnya. Keesokan harinya hal ini disampaikan kepada Tami, namun kembali temannya itu menyatakan ketidakpercayaannya. Kata Tami, di zaman milenial sudah tidak ada dukun. Dina ngotot. Tami pun ngotot. Akhirnya diambil jalan tengah. Tami diajak menemui seorang kiai di Sidoarjo untuk dilihat apakah benar sedang terkena guna-guna atau tidak. “Yang kita datangi ini kiai beneran. Bukan wong pinter, dukun atau sebangsanya,” tegas Dina. Tami menurut. Sepulang kerja, setelah Magrib, Tami dan Dina meluncur ke Sidoarjo. Kebetulan saat itu Danang sedang tidak berada di rumah. Mereka langsung njujug tempat tinggal kiai yang memiliki pondok pesantren modern dan pencetak enghafal Alquran. (jos, bersambung)

Sumber: