Terpaksa Menjadi SPG Plus-Plus demi Mencukupkan Kebutuhan

Terpaksa Menjadi SPG Plus-Plus demi Mencukupkan Kebutuhan

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Miko rupanya bisa membaca pintasan pikiran Bandi. Karena itu, dia tidak pernah meninggalkan sahabatnya itu di Pacet. Miko terus menunggui Bandi dan memberi kesempatan pria tersebut menyendiri. Seharian keduanya menghabiskan waktu di Pacet. Baru pukul 20.00 mereka turun ke Surabaya. Sampai di rumah, pecahlah perang Bandi vs Tini. Bandi menuduh Tini berkhianat. Eloknya, Tini tidak mengelakkan tuduhan suaminya. Dia bahkan terang-terangan mengaku mengapa memilih jalan demikian. Salah besar, memang. Tini lantas blak-blakan mengatakan terpaksa mengambil pilihan itu demi uang. Demi menjaga keutuhan rumah tangga mereka. Gajinya sebagai SPG rokok tidak mencukupi kebutuhan keluarga, meski mereka belum punya anak. Fakta ini yang mendasari Tini memilih menjadi SPG plus-plus untuk memenuhi kebutuhan keluarga Di sisi lain, Bandi memang belum bisa diharapkan sejak kecelakaan menimpanya, beberapa tahun lalu. Kedua kakinya sebatas lutut diamputasi sehingga Bandi terpaksa harus menghabiskan sisa usia di kursi roda. Kenyataan tersebut dianggap Bandi sekadar alasan Tini untuk mencari kepuasan di luar rumah, sementara dirinya tidak bisa memberikan kepuasan maksimal. “Sebenarnya aku masih bisa memberikan nafkah batin kepada istri. Tapi, memang tidak bisa maksimal seperti dulu. Kalau nafkah uang, aku memang tidak pernah memberinya,” aku Bandi. Walau begitu, harga diri Bandi sebagai lelaki merasa direndahkan. Karena itu dia mengajukan perceraian di PA. Kini sidang memasuki babak mediasi. “Tadi hakim menasihati kami untuk membatalkan gugatan cerai. Masalahnya, kami dinilai masih saling mencintai. Jujur, walaupun Tini sudah jelas bersalah, aku masih mencintai dia. Asalkan dia mau bertobat,” tambah Bandi. Di sisi lain, Tini juga masih sangat mencintai Bandi. Dia terpaksa merendahkan harga dirinya demi kelangsungan biduk rumah tangga. Kata hakim, seandainya Tini sudah tidak mencintai Bandi, apa susahnya bagi Tini untuk meninggalkan Bandi. Juga, demi menjaga martabat Bandi sebagai kepala rumah tangga. “Tapi, jalannya itu lho yang salah. Yang bikin aku nggak habis pikir,” tegas Bandi. Tiba-tiba Tini muncul di antara kami. Dia datang bersama penasihat hukumnya. “Ya, sebaiknya kalian tidak usah bercerai. Setiap rumah tangga pasti ada halang rintangnya,” kata pengacara tersebut sambil menepuk pundak Bandi. Pengacara itu juga menyarankan Bandi membuka usaha di rumah sehingga bisa kembali memberikan nafkah kepada keluarga. “Sekarang zaman digital, Mas. Zaman online. Cobalah mencari celah pekerjaan yang bisa dilakukan tanpa harus meninggalkan rumah. Saya kira Mas Bandi jauh lebih paham ketimbang aku,” tambahnya. Walau bukan sarjana, Bandi menguasai dunia teknologi informasi (TI). Dia jebolan SMK di Malang. Sambil terus memberikan nasihat kepada Bandi dan Tini, pengacara berdarah Madura tadi memegang lengan Memorandum, mengajak berpindah tempat duduk agak menjauh dari pasangan Bandi dan Tini. Memorandum pun angkat pantat dari kursi, berjalan mengikuti sang pengacara. Tak lama berselang, Memorandum melirik Bandi dan Tini yang sedang berpelukan erat. “Mudah-mudahan Bandi secepatnya menemukan pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhan keluarga,” kata pengacara tadi. “Amin,” sahut Memorandum. (habis)

Sumber: