Perjalanan Cinta Hombreng (3)
Diajak Main Bola, Huh…
Rio yang beranjak remaja berusaha sekuat tenaga memahami dan menerima fakta yang terjadi di keluarganya. Tidak mudah. Tapi, dia terus berusaha. “Suatu hari saya diajak Papa main bola di halaman rumah. Sungguh aku merasa seperti orang bodoh saat itu. Huh… Melakukan sesuatu yang tidak sesuai kata hati. Demi menyenangkan orang lain,” kata Rio. Saat Rio berumur 13 tahun, Fandi dipromosikan jadi wakil kepala cabang. Tidak di Surabaya, tetapi di luar Jawa. Tepatnya di Samarinda. “Papa pamit dua-tiga tahun. Katanya sepulang dari sana akan dikembalikan ke Jawa sebagai kepala cabang,” kata Rio. Ternyata Ana dan Oma Melati menolak saat diajak boyongan oleh Fandi. Mereka bertahan tinggal di Surabaya. Fandi yang diminta pulang tiga bulan sekali. Atau bila keberatan, setengah tahun sekali. Setahun sekali pun tidak apa-apa. “Dua bulan Papa di Samarinda, diam-diam aku mencoba berhias. Semula hanya di kamar menjelang tidur. Lama-kelamaan aku mencoba mempertahankan riasanku saat makan malam,” kata Rio. Ternyata semua marah. Tidak terkecuali kakak-kakak Rio. Mereka bahkan sangat keras saat menegur. “Kakak juga melapor ke Papa. Aku dimarahi,” ujar Rio. Dua tahun lebih Fandi dikembalikan ke Surabaya. Sebenarnya dia dipromosikan sebagai kepala cabang di Blitar, tapi Fandi menolak. Dia minta ditempatkan di Surabaya saja. Di posisi apa pun. Akhirnya dia ditempatkan sebagai wakil kepala cabang. Tapi, itu tidak lama. Hanya dua bulan. Manajemen baru kantor pusat di Jakarta memaksa Fandi berangkat ke Blitar dan memegang kantor cabang di sana. Sejak itu Fandi pindah ke Blitar dan pulang seminggu sekali. Sebenarnya Fandi sudah mengajak keluarga boyongan ke Blitar. Tapi, kembali Ana menolak. Demikian pula Oma Melati. Alasan mereka, tetangga-tetangga di Surabaya sudah seperti keluarga sendiri. Ribet kalau harus menyesuaikan diri lagi dengan tetangga baru di Blitar. Sampai sekarang Fandi tinggal sendirian di Blitar. Sudah lebih dari 15 tahun. Dia hanya pulang seminggu sekali ke Surabaya. “Sebenarnya Papa mengaku tidak tahan, tetapi Mama ngotot tidak mau pindah,” kata Rio, yang merasa punya kebebasan agak longgar dengan ketidakadaan Fandi. Yang tidak diketahui keluarga, diam-diam Rio sering keluar malam untuk bertemu dengan komunitasnya di sekitaran WTC. Tentu saja tidak dengan pakaian lelaki, melainkan berpakaian perempuan kesukaannya. Dan celaka, suatu hari saat meloncat dari jendela samping rumahnya, tidak diduga, ayahnya yang baru tiba dari Blitar memergoki. Rio tidak sempat bersembunyi. Dia yakin ayahnya tahu saat kakinya berlari menjauh dari rumah. (jos, bersambung)Sumber: