OPD, Perlu Kepala atau Boneka?

OPD, Perlu Kepala atau Boneka?

Sepekan terakhir ramai diberitakan kekosongkan jabatan startegis di Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Jawa Timur. Seperti organisasi perangkat daerah (OPD), paling tidak sejak setahun terakhir hanya diisi pejabat sekelas plt (pelaksana tugas). Contohnya di dinas kesehatan. Pejabat yang mengepalai dinas ini hanya plt. Sungguh sebuah ironi. Di tengah seluruh negara maupun daerah belahan dunia mana pun sedang ramai-ramai bergerak, berjibaku menghalau dan melawan virus corona eh… Pemprov Jawa Timur seakan ogah-ogahan mendefinitifkan pejabat sekelas kepala. Tentu kebijakan Pemprov Jatim ini tidak populer. Sehingga layak dipertanyakan. Tak segera mendefinitifkan pejabat kepala dinas kesehatan memicu ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah Jawa Timur yang kini dijabat Gubernur Khofifah Indar Parawansa. Mereka tak percaya daerah sekelas Jawa Timur tidak memiliki sosok yang kapabel menjabat di posisi ini. Tak hanya itu, bisa jadi publik Jawa Timur berpikir ada kesengajaan pemerintah mengosongkan jabatan kepala OPD berkaitan dengan pandemi yang konon telah menghabiskan miliaran rupiah. Tegasnya, pikiran publik bahwa OPD ini sengaja dikosongkan agar segala aspek pendanaan yang melalui dinas ini langsung ditangani pejabat sekelas di atas kepala OPD tak bisa disalahkan. Contoh lain dan ini tak kalah startegis adalah jabatan sekretaris daerah provinsi (sekdaprov). Jabatan ini tidak kosong tapi diisi oleh pejabat sekelas Plh (pelaksana tugas harian). Tentu kebijakan ini juga mengherankan. Wilayah sebesar Jawa Timur, daerah dengan kualitas kecerdasan orang-orangnya di atas rata-rata, sangat muskil tidak memiliki sosok yang pantas menjadi sekdaprov secara definitive. Sepertinya tidak bisa dipercaya. Seribu persen mustahil! Sekdaprov adalah jabatan tertinggi di birokrasi. Bukan jabatan politis. Sehingga, posisi jabatan ini dipastikan jadi rebutan siapa pun yang telah memenuhi syarat kepemimpinan maupun syarat menduduki jabatan ini. Seorang gubernur sangat memahami itu. Apalagi sekelas Khofifah yang notabene pernah menjadi pembantu presiden alias menteri negara Republik Indonesia. Nah, perasaan tak percaya tak kunjung definitifnya Sekdaprov Provinsi Jawa Timur makin memuncak hingga menimbulkan tanda tanya. Apa sosok sekelas Khofifah tak mampu mencari dan memilih pejabat selevel di bawahnya? Atau Khofifah terjebak dalam permainan politis orang-orang di sekeliling jajaran mengingat sama-sama memiliki kepentingan untuk meraup jabatan Gubernur Jawa Timur periode kedua dalam pemilihan gubernur 2023? Atau justru Khofifah mem-Plh Heru Tjahyono sebagai Sekdaprov Jawa Timur menjadikan bagian penting bagi perjalanan keduanya untuk menjadi pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur pada periode berikutnya? Selagi menanti jawaban, gak salah kalau ada warga Jawa Timur berpendapat sah-sah saja mempersiapkan diri sebagai kandidat gubernur dan wakil gubernur meski ada yang berpendapat kesalahan fatal Khofifah menggandeng Heru Tjahyono sebagai calon wakilnya karena wakil gubernur Emil Dardak sangat memberi warna terhadap kinerja Khofifah. Apalagi sosok Heru Tjahyono sempat terbelit kasus hukum ketika menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur kendati tidak sampai ke ranah persidangan pengadilan.(*)    

Sumber: