Kontestasi Presiden Saling Serang
Oleh: Arief Sosiawan (Pemimpin Redaksi) Mendekati April 2019, persaingan menuju RI 1 makin membabi buta. Itu tecermin dari gerakan kedua calon presiden (capres) kita, petahana Joko Widodo (Jokowi) dan penantangnya, Prabowo Subianto. Bersama tim sukses masing-masing, kedua mereka memasang strategi berbeda. Keduanya terlihat saling serang. Saling menjatuhkan. Tentu hanya satu tujuannya: memenangi kontestasi! Ibarat pertandingan tinju, pemegang gelar juara diserang penantang. Sejujurnya ini sangat wajar, karena sang juara memiliki awal atau start selangkah lebih ke depan dibandingkan penantang. Sang juara lebih mengetahui medan. Berbeda dengan penantang yang masih harus meraba-raba. Karena itu, serangan pemegang gelar juara bisa sangat menakutkan. Sebab, pemegang sabuk juara dengan mudah bisa mengatur arena pertarungan dan mengetahui kapan harus menyerang atau menahan serangan. Tahu kapan harus memborbardir lawan. Kembali ke perebutan RI 1, pertarungan yang sama bisa saja terjadi. Petahana yang memiliki segalanya—karena memegang kekuasaan—sudah terlihat memborbardir sang penantang. Ini tampak, antara lain, melalui berbagai program yang dikucurkan petahana menjelang titik puncak pertarungan pada April 2019, yang kebetulan bersamaan dengan masa kampanye seperti saat ini. Program itu, antara lain, berupa pembagian dana kelurahan yang dananya bersumber dari negara. Atau, program membagi-bagikan puluhan ribu sertifikat tanah ke masyarakat. Tentu langkah petahana Jokowi ini menimbulkan pertanyaan masyarakat yang tidak mendukungnya. Bagi mereka, langkah Jokowi ini tak lebih dari upaya pencitraan. Dan itu, menurut mereka, adalah kepiawaian Jokowi. Ada lagi kebijakan lain yang dicurigai sebagai upaya pencitraan. Misalnya pembangunan dan peresmian jalan tol. Masyarakat menilai langkah-langkah itu bisa dilakukan di luar masa kampanye, karena itu memang tugas Jokowi sebagai presiden. Sebaliknya bagi sang penantang. Apa yang dilakukan Prabowo disebut kubu petahana hanya omdo alias omong doang. Dengan membabi buta kubu petahana menegaskan bahwa penantang hanya bisa bicara tanpa punya program kongkret yang bisa dijual dalam kontestasi kali ini. Alhasil petahana menilai penantang hanya bisa menakut-nakuti rakyat tanpa menujukkan kinerja yang baik seperti yang dilakukan petahana. Tak cukup di situ, petahana memborbardir penantang dengan julukan pembuat hoax seperti dalam kasus Ratna Sarumpaet. Dari beberapa catatan itu, bisa diartikan persaingan antarcalon presiden Indonesia masih berkelas saling serang. Bukan saling hormat dengan membagi kemampuan membangun Indonesia berkualitas. Sungguh ini sebuah keprihatinan nasional.(*)
Sumber: