Saya Yakin Bisa Hidup di Kapal Perang

Saya Yakin Bisa Hidup di Kapal Perang

Oleh Noor Arief BEBERAPA hari hidup di atas kapal, rasanya saya mampu. Andai ditambah beberapa hari ke depannya, saya masih mampu. Tidak banyak perbedaan hidup di darat kecuali keterbatasan sinyal seluler, gerak yang terbatas, dan goyangan kapal karena ombak. Semuanya bisa saya terima. Menu kapal pun bisa diterima lidah saya yang memang selama ini tidak terlalu memilah makanan. Ada sayur bayam dan ayam sayur yang sangat enak saya rasa. Termasuk sekali merasakan menu dendeng daging. Kendati lumayan keras juga dagingnya tapi jelas sudah dimasak. Keterbatasan kapal yang diciptakan untuk kondisi perang akan memaklumi sedikit kekurangan makanan itu. Ada satu menu yang disebut-sebut spesial di atas kapal. Namanya Indo*** kapal. Nama ini diambil dari salah satu merek mi instan di pasaran. Tapi sepertinya yang mereka masak tidak harus merek itu, asal mi instan. Saya juga merasakan menu spesial tersebut. Itupun atas perintah Panglima Armada Dua Laksamana Muda TNI Mintoro Yulianto kepada kapten kapal Letkol Laut (P) Anton Pratomo. “Itu rekan-rekan media dibikinkan Indo*** kapal lengkap dengan telurnya,” kata Mintono. Perintah ini langsung dilaksanakan dibarengi tanda tanya besar di benak saya. Seperti apakah menu yang dikatakan spesial itu. Setelah menunggu, disajikan di depan saya yang disebut Indo*** kapal. Persis dengan mi instan di daratan. Plus telur ayam dan potongan sawi yang direbus berbarengan. Juga irisan cabai. Semasa kuliah, saya tergabung dalam pecinta alam. Menu ini biasa bagi saya. Mi instan dengan sayuran yang kami temukan di jalur pendakian. Bisa selada air atau pucuk pohon pakis. Kalau ditambah telur, jarang kami lakukan saat pendakian. Hanya karena membawa telur akan menambah biaya pendakian kami. Ada tayangan televisi (TV) di ruang makan kapal. Saya sempat menikmati tayangan TV kabel ini. Tapi malah pusing karena dibarengi dengan goyangan kapal yang disapu ombak. Selama di kapal saya lebih sering di kamar, lokasi merokok sambil mengetik berita. Sembari menunggu mendapat sinyal. Selain Indo*** kapal, ada satu lagi yang saya dengar tentang kekhasan kehidupan kapal. Mandi khatulistiwa namanya. Saya cukup tertarik dengan tradisi yang dilakukan saat kapal melewati garis 0 derajat bumi. Mandi khas ini kabarnya diwarnai dengan siraman oli kapal. Saya tertarik dengan tradisi unik ini. Saya juga mau melakoni seandainya diperbolehkan. Sayangnya, kapal kami tidak melewati garis khatulistiwa. Rasanya semua kehidupan di atas kapal bisa saya jalani. Kecuali rasa kangen karena memang tidak terbiasa. Jaringan komunikasi yang terbatas, makanan yang terjadwal, mandi cuci kakus (MCK) yang juga tidak bebas, masih bisa saya terima. Tidak ada yang berat. Kecuali rasa kangen yang tidak bisa saya tahan.  Kalau kangen, hanya Dilan yang bisa menahannya karena berat. Saya tidak mampu. (rif/be)

Sumber: