Surabaya Berada di Kawasan Sesar Aktif, Pakar Geologi: Belajar dari Gempa Yogyakarta

Surabaya Berada di Kawasan Sesar Aktif, Pakar Geologi: Belajar dari Gempa Yogyakarta

Surabaya, memorandum.co.id – Pakar Geologi Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Amien Widodo meminta pemkot dan masyarakat Surabaya agar mau belajar dari bencana gempa bumi tektonik yang mengguncang Yogyakarta 15 tahun silam atau tepatnya 27 Mei 2006. Pasalnya, sesar kendeng membelah Kota Surabaya menjadi dua sesar, yakni Sesar Surabaya dan Sesar Waru yang berpotensi menimbulkan gempa 6.5 SR dan bergerak 0.05 mm per tahun. Maka diharapkan dibuat arahan mitigasi struktural dan arahan mitigasi nonstruktural dengan edukasi masyarakat dalam menghadapi gempa di kawasan berisiko. "Kita mengusulkan pemerintah melakukan asesmen ancaman gempa, asesmen kerentanan bangunan, asesmen kerentanan tanah dan asesmen kapasitas kesiapsiagaan masyarakat. Berdasarkan data tersebut bisa dibuat zonasi kawasan yang berisiko tinggi sampai yang berisiko rendah," terang Amien, Kamis (27/5/2021). Berdasarkan data Pusat Gempa Nasional 2017, Amien menyebutkan, bahwa banyak kota di Indonesia dilewati sesar aktif yang berpotensi gempa, awalnya berjumlah 80, penelitian 2017 menjadi 285 sesar aktif, termasuk sesar yang melewati Kota Surabaya. "Salain di Surabaya juga di jalur sesar Lembang yang sangat dekat dengan kota Bandung, sesar Cimandiri yang melintas dekat kota Sukabumi, dan sesar Opak yang jalurnya dekat kota Yogyakarta," paparnya. Pihaknya mengatakan, bahwa gempa darat akibat sesar aktif yang membelah kota terbukti menghancurkan bangunan bahkan membunuh ribuan orang serta membuat cacat permanen. Seperti yang terjadi di Lombok 2018, Palu 2018, Mamuju 2021, Bener Meriah Aceh 2012, Padang 2009 dan gempa Jogja 2006. Berdasarkan hasil investigasi saat terjadi gempa di Yogyakarta, puluhan ribu rumah rusak, roboh rata dengan tanah dan membunuh sebagian besar orang yang ada di dalamnya serta menyebabkan cacat permanen karena sebagian besar merupakan rumah bata tanpa tulangan. "Dari gempa di Yogyakarta, maka Surabaya bisa belajar bahwa hancurnya bangunan disebabkan oleh faktor internal bangunan tersebut dan faktor eksternal yaitu magnitude gempa, pergeseran sesar dan respons tanah terhadap gempa," pungkas Amien. (mg-1/fer)

Sumber: