Khawatir Keperjakaan si Bungsu Diunduh sebelum Waktunya
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Malam itu Puri tidak bisa tidur. Terbayang besok dia harus berdiri di simpang jalan. Tikungan ke kiri dihiasi aneka kembang, tapi remang dan Seli berdiri di ujung sana; serta jalan lurus diterangi cahaya tanpa lampu atau matahari, dan Bunga berdiri di ujung sana. Pagi disambut Puri tanpa gairah. Semalaman tak sedetik pun dia bisa memejamkan mata. Di meja makan ia terkantuk-kantuk. Bunga pamit tidak ikut sarapan bersama karena sudah ditunggu teman-temannya. Hanya ada Puri seorang diri. Seli, Semi, dan Jatmiko belum keluar dari kamar masing-masing. Mereka baru muncul beberapa saat kemudian. Semi yang pertama, disusul Jatmiko. Mereka menunggu Seli sambil berbincang-bincang. Sudah cukup lama, Seli tidak muncul-muncul. Puri dengan agak bermalas-malasan lantas mengambil makanan, diikuti kedua anaknya. Ketika ketiganya sedang sibuk mengunyah, terdengar bunyi pintu terbuka. Kriet… Puri dan Semi menoleh sejenak ke arah suara, namun meneruskan aktivitasnya menyendok makanan dan memasukkan ke mulut masing-masing. Semi malah mengajak ayahnya berbincang tentang rencananya membuka bisnis. “Papa setuju kan aku joint sama teman-teman?” tanya Semi. Belum sempat menjawab, perhatian Puri tersita gerak sigap Jatmiko berdiri dan berjalan menuju kursi yang biasa ditempati Seli. Dia seret mundur sedikit kursi tadi, lalu berdiri tegap di belakangnya. Menunggu dan mempersilakan Seli duduk di kursi tersebut. Mirip gaya seorang pangeran memperlakukan putri kerajaan. Semi tertawa ngakak memperhatikan tingkah saudaranya tersebut, yang sudah beberapa hari ini bersikap seperti itu. Berbeda dengan tanggapan Semi, lelaki paruh baya ini mengernyitkan dahi dan menyipitkan mata. Dia pandangan mata Jatmiko dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di dada: kenapa beberapa hari terakhir Jatmiko memperlakukan Seli sedemikian rupa? Jatmiko seolah ingin menunjukkan perhatian ekstra kepada saudara sepupunya itu. Ini bahaya, karena mirip perilaku Bunga pasca dipuaskan Puri di ranjang, beberapa waktu lalu. Puri ingat malam itu, setelah diberi seteguk minuman oleh Seli—tampaknya disebak, gerak-geriknya di atas ranjang seperti singa padang pasir memperlakukan domba peliharaan yang terpisah dari gembalanya. Ditikam. Dicakar. Dibanting. Diseret. Dll. Dsb. Dst. Waktu itu Bunga, yang diibaratkan domba hilang, kehabisan napas mengimbangi sepak terjang Puri. Dia terkapar beberapa kali. Saat dibaringkan di atas bufet. Saat disandarkan ke dinding. Saat didudukkan di toilet kamar mandi. Setelah itu, paginya Bunga seolah ingin membalas budi atas kepuasan yang dia rasakan dengan melayani Puri di meja makan secara maksimal. Jadi, jangan-jangan hal serupa terjadi pada Seli vs Jatmiko?!? Membayangkan itu, pikiran Puri mendadak berputar tidak pada porosnya. Mbulet gak karu-karuan. Khawatir anaknya diajari sesuatu yang bukan semestinya: keperjakaannya diunduh Seli sebelum waktunya. Puri lantas mengalihkan pandangannya ke arah mata Seli. Mencari jawaban di sana. Namun celaka, pandangan tadi tersedot ke arah lain: bagian tengah tubuh. Yang padat. Yang berisi. Bagian itu seolah berkata, “Kutunggu di kamar setelah sarapan. Siap?” (bersambung)
Sumber: