Suami di Penjara, Anak Jatuh Sakit, Terpaksa Terima Cucian

Suami di Penjara, Anak Jatuh Sakit, Terpaksa Terima Cucian

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Nia bertobat dan berharap semuanya kembali seperti dulu. Ia teringat kehidupan singkatnya di Sumatera. Ia menyesal mengapa dulu memaksa Toni mengizinkan pulang ke Jawa untuk melahirkan. Andai saja dia tidak memaksakan kehendak. Nasi sudah menjadi bubur. Kehidupan masih terus berjalan. “Aku terpaksa kerja demi kelangsungan hidup kami. Aku dan anakku, Funga,” kata Nia. “Toni bagaimana?” sela Memorandum. “Dia menyesali perbuatannya dan bertekad akan menjalani hukuman sampai tuntas. Dia ingin aku dan Funga sabar menunggu dan nanti mulai membangun kehibupan baru bersama-sama,” tutur Nia. “Apakah Toni tidak tahu hubungan Mbak Nia dengan Gembes?” Tidak ada jawaban. Cukup lama. Hanya ada bunyi gemerisik dan sekali-sekali deru kendaraan bermotor. “Tidak. Aku berharap dia tidak pernah tahu,” kata Nia pada akhirnya. Tidak mudah bagi Nia untuk mencari pekerjaan. Selain ijazahnya yang hanya SMA, keberadaan Funga cukup menghambat. Apalagi, kondisi kesehatan Funga semakin hari semakin tidak baik. Akhirnya Nia memutuskan memilih pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah. Dan, pilihan itu tidak banyak. Buruh cuci dan seterika, hanya itu yang bisa dikerjakan. “Akhirnya aku memberanikan diri menawarkan tenagaku ke para tetangga.” Mungkin karena kasihan terhadap kondisi Nia dan keluarganya, terutama Funga, banyak tetangga banyak yang menyambut baik tawaran Nia. Padahal, mereka harus rela saling menunggu karena tenaga Nia sangat terbatas. “Funga hanya aku rawat di rumah. Atas bantuan seorang tetangga, dia pernah aku bawa ke rumah sakit. Dokter menyatakan Funga harus dirawat secara intensif. Harus dioperasi dan dikemon (mungkin maksudnya dikemo, red).” Nia langsung down. Tidak mungkin baginya membiayai perawatan Funga di rumah sakit. Funga akhirnya hanya dirawat seadanya di rumah. Jerit kesakitan yang acap keluar dari bibir Funga hanya dijawab Nia dengan mengelus-elus badannya sambil bertubi-tubi mendaratkan ciuman di pipi atau keningnya. Hanya itu obat yang bisa Nia berikan. Untungnya Funga seperti memahami keadaan ibunya. Setiap merasakan sakit dan menangis, sentuhan Nia selalu bisa mengantarkan bocah itu ke alam mimpi. “Setiap menangis dan menjerit kesakitan, Funga selalu dapat kutidurkan dengan elusan di tubuh dan ciuman di wajah. Ajaib, memang, tapi alhamdulillah,” puji Nia. Tepat tujuh hari sebelum menelepon Memorandum, Nia mengaku Funga kembali menangis. Tapi kali ini tidak seperti biasanya. Funga hanya menggumamkan suara tangisnya. “Buk, kapan Bapak pulang?” tanya Funga lirih. “Bapak masih sibuk, Sayang. Kenapa?” “Kok Bapak lama kerjanya? Bapak sudah tidak sayang sama Funga ya?” “Bapak sayang Funga. Ibuk juga sayang Funga.” Pada saat Nia mengakhiri kalimatnya, Funga tersenyum. Senyum abadi. “Dia meninggal di pangkuanku,” kata Nia. (habis)

Sumber: