Bukan Kecelakaan, tapi Keputusan yang Sangat Menipu

Bukan Kecelakaan, tapi Keputusan yang Sangat Menipu

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Surat terbuka Rachmat Hidayat yang dimuat Memorandum kemarin, menginspirasi Setyawan Wahyudi, warga Kenjeran, berbagi kisah rumah tangga. Kamarin pukul 09.13 dia menelepon dan langsung meng-email naskah. Sama seperti naskah Pak Rachmat, tulisan Pak Wawan, begitu dia minta dipanggil, dimuat secara utuh tanpa diedit. Aku adalah seorang ayah dengan empat orang anak. Aku punya tiga anak dari mantan istri dan kemudian satu anak dengan istri yang sekarang ini. Aku sangat menikmati peran sebagai seorang ayah. Sebisa mungkin aku juga mencoba mendedikasikan banyak waktu dan energi kepada masing-masing anak. Aku bertemu istri yang sekarang setahun setelah berpisah dengan mantan. Dia ada di sisiku saat aku harus berjuang di pengadilan perceraian. Bagiku itu semua adalah proses yang sangat traumatis dan dia selalu ada untuk mendukungku. Aku sangat bersyukur sehingga ada begitu banyak alasan untuk memujanya. Setelah kami bersama selama beberapa tahun, akhirnya kami punya satu anak lagi. Secara finansial, punya anak itu membutuhkan fokus lebih dan aku sangat menikmatinya. Aku sangat mencintai anak-anakku. Hubunganku dengan istri pertama tidak terlalu baik. Aku seringkali ditinggal bersama dengan anak-anak di akhir pekan, dengan pemberitahuan yang mendadak, selama liburan sekolah, atau kapan pun tergantung jadwal mantan istriku. Ini semua berpengaruh pada hubunganku dengan istri yang sekarang. Aku terus-menerus mengatakan tidak pada hal-hal yang melibatkan urusan finansial karena segalanya serba terbatas. Kami jadi banyak berdebat. Ada hari-hari di mana kami berdua hanya diam. Ketegangan kami berdua sangat berat untuk dihadapi karena kami perlu menahan emosi untuk memberi anak-anak lingkungan yang aman, penuh kasih, menyenangkan dan bahagia. Empat hari yang lalu istriku memberitahuku bahwa dia punya sebuah kabar untukku. Kabar itu adalah dia telah melepaskan implan kontrasepsinya 12 bulan yang lalu. Saat ini dia hamil 11 minggu. Dan ini adalah pertama kalinya dia mengatakan hal itu. Aku merasa hancur dan marah. Aku merasa bahwa ia telah menipuku. Bagaimana mungkin dia merencanakan kehamilan namun tidak pernah membicarakannya dengankudan dia baru mengatakannya sekarang. Kami bertengkar hebat. Dia bilang dia sangat mengenalku dan tahu betapa aku selalu mencintai anak-anak kami. Dia juga bilang bahwa ia yakin aku akan mencintai anak kami yang masih di kandungan ini. Dia tampaknya memang mencari pembenaran atas tindakannya. Dia mengatakan bahwa yang aku lakukan sungguh tidak beralasan. Dia bilang bahwa aku harus belajar menerimanya karena hal ini memang biasa terjadi dalam sebuah hubungan. Aku merasa bahwa situasi ini menjijikkan. Aku bahkan tidak sanggup melihatnya. Aku merasa jadi korban. Tapi aku tidak bisa membuktikannya. Aku benar-benar kacau. Aku juga tidak yakin di mana aku harus mencari pekerjaan tambahan. Aku tidak sanggup berbicara dengan siapapun tentang hal itu. Aku tidak ingin keluargaku berantakan. Jauh dari anak-anakku yang besar rasanya terlalu berat. Aku tidak dapat membayangkan akan melalui hal itu dua kali. Dia benar; Aku akan mencintai anak yang sedang dikandungnya ini. Ini bukan salah anak itu. Mereka semua adalah anak-anakku. Aku akan mencintai mereka semua secara setara dan aku bukan tipe orang yang bisa kabur begitu saja. Aku akan melakukan apa yang orang katakan, hal yang seharusnya dilakukan. Tapi, sementara ini aku jadi tidak bisa tidur. Aku juga tidak bisa makan atau bahkan berpikir jernih.Aku bertanya-tanya apakah akan ada orang yang bersimpati dengan situasi yang sedang aku hadapi? Bebanku sudah sangat banyak ditambah dengan kehadiran bayi itu. Aku baru saja sampai pada titik di mana anak-anakku tidak membutuhkan terlalu banyak perhatian. Aku juga menantikan masa-masa memiliki waktu luang. Yang aku butuhkan tidak banyak, hanya waktu kosong untuk berolahraga atau jalan-jalan saat libur kerja. Aku merasa hampir siap mengembalikan keseimbangan hidupku setelah bertahun-tahun stres. Namun, sekarang muncul hal ini. Akan cukup sulit bila kehamilan ini adalah sebuah kecelakaan. Tapi ini adalah keputusan yang menipu dan diperhitungkan, yang dibuat oleh seseorang yang saya percaya dan sungguh-sungguh tahu persoalanku. (*)

Sumber: