Terjejal Berjuta Tanya, Pingsan di Depan Rumah Kenanga

Terjejal Berjuta Tanya, Pingsan di Depan Rumah Kenanga

Yuli Setyo Budi, Surabaya Deg! Begitulah detak jantung Feri. Sebab, begitu turun dari pesawat di Bandara Pangsuma, Kapuas, dia disambut keluarga Kenanga. Cuma satu yang tidak tampak: Kenanga. Feri langsung dipeluk ayah Kenanga. Kabar lebih mengagetkan menyambar dada Feri. “Kenanga sudah mendahului kita semua,” kata ayah Kenanga, sebut saja Hamarung, lirih di dekat telinga Feri. Kesedihan masih melekat di wajah anak-istri Hamarung. “Anggap mereka sebagai keluarga Nak Feri,” imbuh Hamarung. Kalimat sederhana ini dirasakan menusuk relung hati Feri yang paling dalam. Mengudak-udaknya. Selama perjalanan dari bandara menuju rumah, Hamarung bercerita bahwa dia sudah tahu semua yang terjadi di antara Kenanga dan Feri. Kenanga yang bercerita. Kenanga juga menyatakan sangat mencintai Feri, meskipun sudah tahu bahwa sebenarnya lelaki itu sejatinya sudah berkeluarga. Sudah beranak-istri. Karena itu, walau pascamalam terindah dalam hidupnya itu dia langsung ditinggalkan Feri, Kenanga rela menerimanya. Usaha Kenanga menghubungi Feri yang tidak pernah membuahkan hasil tak juga menyurutkan cinta tersebut. Demikian pula beberapa waktu setelah Kenanga tahu bahwa di perutnya muncul buah cintanya vs Feri, Kenanga menganggap itu sebagai hadiah yang dititipkan oleh Yang Mahakuasa. Kenanga sama sekali tak pernah berkeinginan untuk menggugurkan bayi tersebut. Perempuan ini yakin suatu saat Feri pasti akan datang ke Kapuas. Entah kapan. Eloknya, sikap ini didukung oleh ayah dan ibunya. Karena itulah mereka menganggap Feri sebagai anggota keluarga. Hamarung apalagi, sudah membubuhkan stempel Feri sebagai anak sendiri. Hanya pengakuan secara agama dan negara  yang belum menyatakan Feri dan Kenanga sebagai pasangan suami-istri. Hati Feri bergejolak. Dia tak mampu membayangkan apa yang terjadi pada Kenanga sepeninggalnya sampai keluarga gadis tersebut menganggap Feri sebagai keluarga. Sebagai suami Kenanga. Beribu tanda tanya beragam ukuran bersliweran di benak Feri. Semua serba tidak masuk akal. Termasuk pertanyaan: dapat kabar dari mana sampai Hamarung sekeluarga tahu persis kedatangannya di Kapuas. Tepat waktunya, lagi. Saking berjejalnya pertanyaan tanpa ada yang bisa dijawab, Feri merasa kepalanya berat… berat… berat… dan hilang kesadaran. Feri pingsan tepat di depan rumah Hamarung. Begitu membuka mata, sesosok manusia kecil terlihat di depan mata Feri. Anak tersebut, yang berusia sekitar setahunan, tersenyum ke arahnya. Dia dengan tenang di duduk pangkuan Kunum (bukan nama sebenarnya), ibu Kenanga yang juga istri Hamarung. “Papa?” ucapnya lirih. Cedal. Rasa pening yang berangsur-angsur menghilang balik lagi. Ada rasa mengganjal di tengkuk. Beragam pertanyaan yang belum semua terjawab kini ditambah satu lagi: siapa manusia kecil ini? Tapi, nalurinya mengatakan bahwa manusia kecil, lucu, dan bersorot mata bening itu adalah anaknya hasil hubungan dengan Kenanga. “Dia kami beri nama Feri, sama dengan namamu. Itu permintaan Kenanga di akhir hayatnya saat melahirkan anak ini,” kata Kunum sambil menyorongkan Feri kecil ke pangkuan Feri. Air mata tak mampu Feri bendung. Dia dekap Feri kecil erat-erat. Kenangan bersama Kenanga, terutama malam terakhir di Kapuas, kembali berputar-putar di benaknya. (bersambung)  

Sumber: