Perjuangan Mahasiswa Milenial Lepas dari Jerat Profesi Gigolo (5)

Perjuangan Mahasiswa Milenial Lepas dari Jerat Profesi Gigolo (5)

  “Sebenarnya aku ingin mengajak ke Paris atau Tokyo. Mau kasih kejutan. Sayang aku tidak tahu kamu memiliki paspor atau tidak. Maka kuputuskan ke Raja Ampat aja. Liburan murah meriah,” kata Nitha saat menunggu kedatangan pesawat di kafe bandara.   “Mbak yakin aku bakal mau?” tanya Nanang.   Nitha tersenyum.   “Kamu tahu nggak? Matamu itu berbicara sangat banyak kepada Mbak.”   Nanang membelalakkan mata.   “Jangankan ucapan. Kata hati dan gesture tubuhmu sangat aku pahami. Apalagi sorot mata ini,” kata Nitha sambil menunjuk mata kiri Nanang dengan manja.   Mendengar perkataan Nitha, tubuh Nanang langung meriang. “Jangan-jangan Nitha seorang paranormal. Cenayang. Bayangan-bayangan negatif pun bersliweran di benaknya.   Pertama. bagaimana kalau Nitha benar-benar tahu semua yang ada pada dirinya. Termasuk kata hatinya. Betapa malunya bila Nitha bisa membaca kata hatinya ketika kali pertama mereka berjumpa.   Kedua, bagaimana kalau perjalanan liburan ini adalah jebakan agar Nitha bisa mengajak Nanang berbuat yang tidak-tidak. Toh Nitha tahu apa yang sebenarnya bergejolak di hatinya. Yang sebenarnya sangat rawan. Ketiga, kalau semua itu memang terjadi, apa yang harus dia lakukan?   Bayangan-bayangan itu terus menghantui pikiran Nanang. Saat hendak melewati malam pertama di hotel dekat bandara, misalnya, hati Nanang sangat-sangat-sangat deg-degan. Apa yang akan terjadi?   Seperti yang dikhawatirkan—atau justru diharapkan?—Nanang, ternyata Nitha hanya mem-booking satu kamar. Pikiran itu makin kacau ketika mereka bersiap membuka pintu kamar.   “Jangan khawatir. Di dalam kamar hotel ini ada tiga kamar terpisah. Kita tidak akan seranjang seperti yang kamu khawatirkan,” kata Nitha seperti menjawab kekhawatiran yang sedang dipikirkan Nanang.   Kamar hotel itu besar memang bukan kamar biasa. Tapi kamar eksklusif. Selain ada tiga kamar tidur, kamar besar seperti apartemen itu dilengkapi ruang tamu dan dapur terpisah. Juga teras lemayan luas yang mengahadap ruang terbuka.   Nanang merasa ditelanjangi dengan tebakan pikiran yang sangat tepat. Karena itu, dia berjanji dalam hati tidak akan menaruh kecurigaan macam-macam lagi kepada Nitha. Kapok!   “Silakan memilih kamar yang mana saja yang kamu suka,” kata Nitha lagi.   Nanang tersenyum. Tidak mau curiga-curigaan lagi.   “Pilih yang mana? Jangan khawatir, di semua kamar ada beberapa setel pakaian pria. Cukup untuk seminggu. Ada pakaian pesta, pakaian santai, pakaian renang, dan pakaian olahraga.”   Nanang menunjuk salah satu di antara tiga kamar tadi dan masuk. Memeriksa kondisi di dalamnya. Cukup lama. Sekitar 15 menit. Ketika hendak keluar, dari pintu yang lain Nitha masuk dengan pakaian tidur yang sangat tuuuiiipppiiis sekali. (bersambung)    

Sumber: