Singa Padang Pasir yang Berubah Jadi Batang Pohon Pisang

Singa Padang Pasir yang Berubah Jadi Batang Pohon Pisang

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Sudah lima tahun ini Nanang (43, bukan nama sebenarnya) terkena rasionalisasi. Statusnya sebagai karyawan tetap di sebuah perusahaan diputus. Nanang di-PHK! Ia segera banting setir. Uang pesangon yang cukup besar diinvestasikan ke bisnis kuliner. Bukan Nanang yang menjalankan bisnis itu, melainkan istrinya, sebut saja Jhamila (36). Sebuah warung di kawasan Terminal Purabaya, Bungurasih, tidak pernah sepi dari pelanggan. Nanang sengaja menyerahkan pengelolaan usahanya bukan tanpa alasan. Pertama, semasa masih gadis, Jhamila berpengalaman membantu mengelola usaha serupa milik orang tua di dekat kompleks Pemkot Mojokerto. Kedua, Nanang berupaya mencari pekerjaan pengganti. Untuk mewujudkan tekadnya tersebut, Nanang berusaha mencari lowongan kerja. Bukan hanya Surabaya dan sekitar yang dia jelajahi. Sidoarjo dan Gresik sudah diobok-obok. Nanang bahkan mencoba mengubek-ubek daerah yang agak jauh seperti Malang, Madiun, Tuban, Jember, bahkan Banyuwangi dan Bali, tapi semua nihil. Kosong melompong dari peluang. Pernah sih dia diterima bekerja di Jakarta. Tapi, itu tak lama karena gajinya sangat kecil, tidak sebanding dengan kebutuhan hidup di sana. Apalagi bila diukur dengan pengorbanan harus meninggalkan keluarga di rumah. Jadi, selama lima Nanang lebih banyak menganggur. Dia hanya mengantar-jemput putri semata wayangnya, sebut saja Mala (8), yang masih belajar di PUD. Sesekali juga mengantar Jhamila di Pasar Keputran. Nanang sangat bersyukur warung istrinya selalu ramai. Belakangan ini halaman di belakang warung bahkan dijadikan posko kumpul-kumpul sebuah kamunitas ojek dan ojek online. Lumayan, warungnya jadi lebih ramai. Paling tidak, kopi dan jajanan makin laris. Nanang mengatakan, mungkin karena itu, belakangan ini istrinya temperamental. Suka marah-marah dan uring-uringan. Masalah kecil saja bisa berubah menjadi sebesar gaban di mata Jhamila. Pernah Nanang yang molor karena habis melekan lantaran ada tetangga kesusahan, dimarahi habis-habisan. Ada-ada saja bahan kemarahannya. Yang kesiangan belanja ke pasar, yang takut kehabisan barang, yang belum sempat masak untuk warung, yang dll, yang dsb, yang dst. Nanang hanya diam. Dia mencoba memahami perasaan Jhamila dan mencoba memaklumi keletihannya bekerja keras yang tak kenal lelah. Apalagi sekarang, melayani driver-driver ojek yang sedemikian banyak. Yang belum bisa dipahami Nanang. Jhamila kini tak bergairah lagi melayani suami di ranjang. Setiap Nanang memasang kuda-kuda hendak menyerang, Jhamila selalu berusaha menepis. Fakta ini sangat mengecewakan Nanang, sebab dulu Jhamila ibarat singa padang pasir yang selalu mengaum kala diusik, selalu mencakar kala digoda. Bahkan menendang kala ditekan. Macam-macam pula alasannya. Kadang Jhamila mengaku sedang menstruasi, kadang mengaku sangat lelah, kadang mengaku nggak mood. Kalaupun akhirnya bersedia melayani, sikap Jhamila sangat dingin. Seperti batang pohon pisang. Dingin dan kaku. Nanang yang kadung bersemangat di awal, perlahan-lahan menjadi loyo menyadari Jhamila hanya telentang tanpa gerak dan suara. Bahasa Jawanya: cumak njebablah. (bersambung)  

Sumber: