Diajak Blusukan Masuk Kampung, tapi Selalu Diikuti Wartawan

Diajak Blusukan Masuk Kampung, tapi Selalu Diikuti Wartawan

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Kami akhirnya berbelok masuk, berjalan di antara tembok rumah dari bata yang berlumut. Permukiman itu jalannya berpaving. Kami berjalan melewati pemandangan yang tidak biasa kulihat. Anak balita dengan santainya berjalan tanpa baju. Ada juga orang merokok sambil bertelanjang dada. Setelah berjalan cukup lama, kami sampai ke bangunan yang terlihat seperti musala. Di dalam, puluhan anak yatim sedang duduk melingkar. Barang-barang yang tak terpakai bertumpukan di semua ruangan, sehingga ada yang duduknya tumpang tindih depan belakang. Aku akhirnya menaruh tas sembako di atas sebuah meja kayu kecil. Setelah itu duduk berdampingan dengan anak yatim. Pengasuh para anak yatim memberikan arahan agar kami mengaji sambil menunggu kedatangan nenekku. Masalahnya, hanya ada satu Alquran dalam lemari kayu, sehingga mereka terpaksa bergiliran. Hanya anak-anak yang sudah fasih mengaji yang ikut membaca. Aku duduk termenung. Memikirkan apa saja yang telah kulihat sambil mendengar lantunan ayat suci. Saat itulah aku baru menyadari sama sekali tidak melihat fotografer. Plong. Hatiku terasa lega. Kali ini setidaknya keberadaanku di sini bukanlah untuk menebar citra. Namun baru saja hatiku terasa ringan, nenekku datang dan mengajak fotografer. Aku memutar bola mata, sudah berkali-kali selalu begini. Meski begitu aku tetap tersenyum dan menyambut nenekku. Walaupun di keluarga dia merupakan nenekku, umurnya sebaya dengan ibuku. Itu karena dia merupakan yang paling muda dari saudara-saudari kakekku. Karena itu, anaknya yang umurnya hanya dua tahun di atasku tetap kupanggil om. Profesinya juga sama dengan kedua orang tuaku, peselancar di dunia politik. Ketika kupanggil nenek, pengasuhnya kaget. Mengira bahwa aku adalah keponakannya. Setelah selesai memberikan penjelasan, nenekku duduk. Aku menyusul duduk di sebelahnya. Dengan senyum yang hangat nenekku mengatakan ini kali pertama ia bertemu anak-anak yatim ini, yang selalu ia beri donasi. Nenek melanjutkan acara dengan doa bersama dan membagi-bagikan amplop. Fotografer yang datang bersamanya tidak berhenti memotret. Awalnya aku yang sudah terbiasa tidak curiga, namun ketika nenekku meminta izin untuk mengunjungi rumah-rumah warga, rasa curiga mulai muncul. Perubahan jadwal itu meski terasa aneh, terlihat sama sekali normal. Karena kami mengunjungi rumah-rumah warga yang kurang beruntung pula. Di beberapa kunjungan nenekku memberikan amplop dari sisa pembagian sebelumnya. Setelah kami selesai berkeliling, aku pamit untuk pulang. Apa yang kulihat terbekas di pikiranku. Esok harinya, ibuku bertanya apakah pembagiannya lancar atau tidak. Ketika kuceritakan bahwa nenekku membawa fotografer, ibuku kaget. Ternyata fotografer itu bukanlah dari ibuku, namun dibawa sendii oleh nenek. Uang dan sembako yang dibagikan pun ternyata dari orang tuaku. Hanya, pemberian donasi itu permintaan nenekku. Semua ternyata dilakukan demi pencitraan. (habis)  

Sumber: