Siram Bensin

Siram Bensin

Oleh: Dahlan Iskan JANGANKAN dapat Arizona, Presiden Donald Trump justru kehilangan yang lebih besar: Georgia. Bahkan yang jauh lebih besar lagi: Pennsylvania. Menantunya pun ngamuk. Jared Kushner, suami Ivanka Trump, menghujat tokoh-tokoh partainya sendiri: Partai  Republik. Kok seperti tidak ada yang membela Trump. Kok mertuanya itu seperti berjuang sendirian untuk membalikkan hasil Pemilu. Kushner lupa bahwa para tokoh partai sendiri sedang empot-empotan. Yakni bagaimana mengamankan suara mereka sendiri-sendiri. Baik untuk kursi DPR atau Senat. Mereka lagi sibuk membela diri di dapil masing-masing. Satu-satunya yang akan mau ''mati bareng Trump'' tampaknya hanya ini: Rudy  Giuliani. Rudy adalah pengacara pribadi Trump. Ia mantan wali kota New York yang sangat populer –karena peristiwa 11/9. Ia jadi pahlawan saat itu. Berkat responsnya yang cepat dalam memulihkan New York. Setelah itu ia mengira telah menjadi pahlawan seluruh Amerika Serikat. Ia pun mencalonkan diri sebagai presiden. Ia tersisih. Bahkan sudah kalah di babak penyisihan di tingkat partai Republik. Sejak itu ia tidak mau lagi nyapres. Biayanya begitu mahal. Ia pilih menjadi king maker untuk Trump. Juga jadi bampernya. Setiap kali Trump terkena masalah Rudy-lah yang jadi tameng. Ketika Trump terpilih empat tahun lalu, Rudy ditawari menjadi menteri luar negeri. Ia menolak. Ia pilih terus dekat Trump secara pribadi. Memang banyak orang punya prinsip begini: menjadi teman presiden lebih enak daripada menjadi bawahannya. Sebagai pembela Trump yang paling depan, Rudy siap membawa urusan pilpres ini ke pengadilan. Pun kalau harus di setiap negara bagian. Terutama yang Trump kalah. Lebih utama lagi di lima negara bagian kunci: Pennsylvania, Arizona, Georgia, Michigan, dan Wisconsin. Sehari setelah Pemilu pun Rudy sudah berangkat ke Pennsylvania. Bersama tim hukumnya. "Terjadi kecurangan yang masif di Pennsylvania," tulis Rudy di twitter-nya. Tentu Rudy –sebagaimana Trump dan anak-menantunya– tidak perlu memberikan bukti tuduhannya itu. Sudah dianalisis oleh Twitter bahwa 38 persen isi tweet kelompok Trump ini menyesatkan. Karena itu pihak Twitter mengambil langkah khusus. Termasuk kepada Rudy: enam tweet -nya hari itu oleh Twitter diberi tanda: *) tidak dudukung fakta dan bisa menyesatkan. Artinya: pembaca tidak boleh percaya begitu saja. Bagaimana bisa percaya. Salah satu bunyi tweet itu seperti ini: di Pennsylvania ada satu orang bisa memilih 100.000 kali. Tapi Rudy ngotot akan membawa Pilpres ini ke pengadilan. Kalau perlu sampai Mahkamah Agung Federal. "Kami ini bukan orang bodoh. Bukan gebleg," tulis Rudy di twitter-nya. Kini Rudy Giuliani berusia 76 tahun. Citra pribadinya sudah jauh dari seorang pahlawan Amerika. Kini ia tinggal menjadi pahlawan keluarga Trump. Karakter pribadi memang menentukan citra seseorang. Ia pernah jadi pahlawan karena peristiwa di luar perencanaannya. Dan ia memang sigap. Tapi setelah itu ia menghargai namanya terlalu tinggi. Setelah jadi pahlawan 11/9 itu ia hanya mau diundang ceramah kalau dibayar Rp 1,5 miliar sekali tampil. Itu pun harus dijemput dengan jet pribadi (pesawat carter). Pesawatnya pun tidak boleh tidak Gulfstream. Itu pun paling tidak yang type Gulfstream IV. Dalam waktu enam tahun, sejak itu, ia bisa mengumpulkan honor Rp 50 miliar, menjadi anggota klub di mana-mana dan rumahnya enam buah. Begitulah harian The Guardian London menulis tentang Rudy. Tapi ia memang ahli hukum yang hebat. Ia akan membuat sejarah baru di Amerika: memenangkan capres yang sudah kalah. Sekaligus ia memberikan contoh hidup secara bukan Amerika. Sejak mahasiswa saya selalu membanggakan tradisi demokrasi di Amerika: yang kalah segera menelepon yang menang. Sebagai tanda menerima kekalahan dengan gentleman. Sekaligus mengucapkan selamat atas kemenangan lawannya. Diskusi-diskusi demokrasi di kalangan aktivis mahasiswa selalu menceritakan tradisi sang sangat Amerika itu. Pun Al Gore. Malam itu, di tahun 2000, ia sudah mengucapkan selamat pada George Bush. Padahal suara penentu masih dihitung. Memang Al Gore sempat menggugat kekalahannya yang hanya 600-an suara. Tapi kemudian juga langsung mengaku kalah. Al Gore, capres dari Demokrat itu, memang pernah menggugat. Tapi Al Gore akhirnya bikin putusan di luar pengadilan: mengakui kemenangan George W. Bush dan mengucapkan selamat padanya. Tahun 2020 ini Trump tidak hanya kalah tipis. Kekalahannya terjadi di lima negara bagian penentu: yang empat tahun lalu ia menang. Sebaliknya tidak satu pun negara bagian yang dulu ia kalah kini ia menang. Sudah seperti itu pun Trump masih akan menggugat. Belum lagi secara ''suara nasional'' pun Trump juga kalah. Tetap saja masih menggugat. Tapi siapa tahu itu hanya gertak sambal. Siapa pula yang tahu kalau Senin pagi-pagi besok Trump tampil di twitternya: mengucapkan selamat pada Biden. Tanda-tanda untuk itu bukan tidak ada. Tadi malam sudah  terlihat ada trailer besar parkir di Gedung Putih. Istri Trump yang kelihatannya mulai berkemas untuk mencicil boyongan dari Gedung Putih. Bersamaan dengan itu kini beredar lagi di medsos lagu terkenal New York New York. Untuk mengejek Trump yang harus meninggalkan New York. Rasanya itu video tahun lalu. Ketika Trump frustrasi pada jaksa New York. Yang terus mengejar-ngejar pajaknya. Trump pilih pindah ke Mar-a-Lago di Florida. Alamat resminya pun pindah ke Florida itu. Tapi video itu bertambah mengena diputar sekarang ini. Tentu video itu juga bisa membuat suporter Trump kian marah. Sekarang ini mulai muncul grup di Facebook dengan nama  "Hentikan Pencurian Suara" (Stop the Steal). Anggotanya bertambah terus. Sudah mencapai 350.000 orang. Lalu Facebook membekukan grup itu. Isinya sangat membahayakan. Terutama karena tanpa dasar mau pun bukti. Itulah grup Facebook yang tidak rela atas kekalahan Trump. Itu masih lebih baik daripada melakukan tindakan kekerasan fisik. Masalahnya: begitu satu grup dibekukan langsung muncul nama grup baru. Misalnya "STS. 2.0". STS singkatan dari nama lama grup yang dibekukan itu. Anggotanya langsung 100.000 dan masih naik terus. Rasanya grup STS 2.0 juga akan dibekukan. Isinya sudah mulai membayangkan perlunya perang sipil lagi. Bahkan polisi Philadelphia, kota terbesar di Pennsylvania, sudah menangkap dua orang. Indikasinya: akan meledakkan tempat penghitungan suara. Dalam situasi seperti ini yang diperlukan adalah peredaan ketegangan. Itulah sebabnya Joe Biden belum mau mendeklarasikan kemenangan. Kemarin Biden memang tampil di podium, tapi nadanya sangat mendinginkan. Cawapresnya, Kamala Harris, berada di samping podium. Berarti selama hari-hari penentuan ini Kamala berada di Welmington, kota terbesar di Delaware, yang juga tempat tinggal Biden. Di kubu Partai Republik sendiri sudah semakin banyak tokoh yang tidak simpati pada cara yang akan ditempuh Trump yang ''tidak Amerika'' itu. Mereka tidak lagi berada dalam satu perahu dengan Trump. "Trump itu kok justru menyiramkan bensin terus," ujar seorang tokoh Republik. Memang, selama Trump jadi presiden, harga bensin di Amerika murah.(*)

Sumber: