Seks Di Pitrad Salah Siapa? Strategi Tom And Jerry Akali Perwali 33

Seks Di Pitrad Salah Siapa? Strategi Tom And Jerry Akali Perwali 33

Selama masa pandemi pengusaha pitrad harus kalang kabut. Mereka tidak lagi mampu menahan beban berat, 9 bulan dilarang operasional setelah revisi perwali 33 tahun 2020,  tentang new normal, dari Perwali No 28 Tahun 2020. Pengusaha yang mewanti-wanti identitasnya tidak dikorankan ini menyebutkan perwali 33 tahun 2020 hanya larangan,  tidak ada solusi selama bagi pekerja atau pengusaha pitrad. Mereka dipaksa hidup segan mati tak mau, karena tidak mampu beroperasi. Catatan yang ia sampaikan, ada ratusan pitrad di seluruh wilayah Kota Surabaya. "Sejak pandemi usaha pidrat ini berjatuhan," terang dia. Sementara itu, lanjut dia banyak terapis mengaku terpaksa mandiri dengan berbagai resiko yang dihadapi. Tidak jarang mereka menggunakan kos atau apartemen untuk praktik. Hal ini jelas pengawasan terhadap usaha pitrad semakin sulit. "Kami tidak bisa memaksa, meski kami tidak mengijinkan," tandas dia. Pria berkacamata ini, menyampaikan bisnis yang ia geluti ini, karena belum  ada  komunitas atau organisasi yang mewadahi pengusaha pidrat. "Kami belum ada komunitas. Ini yang membuat harus menjalankan bisnis dengan Tom and Jerry atau main kucing-kucingan," tandas dia. Didesak selama pandemi berapa besar kerugian yang ditanggung, dirinya tidak bisa menjelaskan tegas. "Yang jelas sewa ruko sebagai tempat usaha tetap berjalan, sementara tempatnya belum bisa dimanfaatkan untuk bisnis," tutut dia. Sebelum pandemi, dirinya minimal mendapat  penghasilan kotor antara Rp 15 juta sampai Rp 20 juta. "Tetapi saat ini tidak ada penghasilan, namun pengeluaran tetap rutin. Seperti biaya sewa tempat, listrik, PDAM," ujar dia. Baca Juga :

Terpisah Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Wijaya Kusuma (UWK) Surabaya, Sucahyo Tri Budiono menjelaskan prostitusi merupakan fenomena yang tidak akan pernah habis atau hilang. Apalagi prostitusi kini melibatkan berbagai teknologi media social (medsos) seperti facebook, watsapp, twitter, mechat. Alasan memenuhi kebutuhan, himpitan ekonomi menjadi alasan klasik.  "Yang utama pasti dari kebutuhan ekonomi, kita melihat bagi mereka itu adalah bagian dari mata pencaharian dan ini adalah jalan alternatif bagi mereka untuk bertahan hidup," papar Cahyo. Menurutnya dalam kondisi apapun, prostitusi tetap eksis karena ada faktor penunjang yang memudahkan aktivitas mereka seperti media sosial, semua media dijadikan sebagai media promosi dalam menjalankan bisnis prostitusi tersebut sehingga mereka mampu mendapatkan pelanggan dari berbagai tempat tanpa batasan jarak dan waktu," jelasnya. Selain media ternyata prostitusi juga telah memanfaatkan tempat yang dijadikan transaksi seksual seperti hotel, wisma, salon, lokalisasi, dan panti pijat. Semuanya bergantung kepada kemampuan pelanggan dalam memesan pekerja prostitusi untuk dijadikan sebagai tempat pemuas nafsunya. Menurut Cahyo, pelanggaran Perwali 33/2020 oleh beberapa tempat hiburan itu karena lemahnya penegakan hukum. Dalam kasus ini bagaimana kinerja Satpol-PP? itu perlu dipertanyakan. Satpol-PP apakah gencar melakukan operasi yustisi?  "Tetap diperlukan operasi yustisi secara berkala, sebagai penegasan bahwa Perwali 33 masih ada," ungkap Cahyo. (mg1/day)   Artikel ini telah tayang di edisi cetak Koran Memorandum Edisi 28 Oktober 2020 Baca edisi cetak Koran Memorandum Edisi 28 Oktober 2020

Sumber: