Meributkan Dalil, Kapan Majunya?
Kita lagi merayakan Maulid Nabi. Sahabat NU saya mem-forward WA pandangan Habib Ali Zaenal Abidin Al Hamidi yang kurang lebih begini: Ketika ada yang bertanya tolong carikan dalil sahih perayaan Maulid Nabi SAW. Jawab saya: Saya tidak memerlukan dalil untuk mencintai Rasulullah, sebagaimana Rasulullah tidak perlu syarat untuk mencintai umatnya. Jika untuk mencintai Rasulullah saja kita masih perlu mencari dalil, layakkah kita untuk mendapatkan syafaatnya? Sahabat Muhammadiyah saya memposting jawaban tim Tarjih atas pertanyaan dalil merayakan maulid Nabi. Jawabannya kurang lebih begini: Tidak ada dalil yang memerintahkan atau melarang memperingati Maulid Nabi. Silakan saja. Hanya saja, hati-hati, memilih bacaan dalam memuji-muji Nabi jangan sampai memasuki wilayah sifat-sifat Allah. Sahabat kampus saya juga mengirim ihwal maulid ke grup. Postingan itu ditulis oleh Satria Hadi Lubis. Judulnya: Maulid Itu Tiap Hari. Karena tiap harus iitiba’ (mencontoh) rasul. Karena tiap hari harus bersholawat. Karena tiap hari harus mencintainya setelah mencintai Allah. Karena tiap hari harus berjuang untuk menjadi pribadi laksana Rasul. Inilah jihad maulid. Karena itu, tak usah pusing dengan perbedaan pendapat tentang maulid Ya, sampai kapan kita memusingkan dalil merayakan maulid. Mengapa tak menangkap substansinya. Spiritnya. Bahwa kalau kita mencintai Allah, ikutilah Nabi. Niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu karena sesungguhnya Allah Mahapengampun dan penyayang (Al Imran 31). Mestinya, di setiap maulid, pada setiap diri, bertanya apakah kita sudah mengikuti Nabi, terutama akhlaknya karena inilah misi utama beliau diturunkan. Liutammima makarimal akhlak (untuk menyempurnakan akhlak). Pada maulid yang sudah puluhan tahun kita lewati, sudahkah makin sempurna akhlak kita, seperti akhlak nabi yang berakhlak Al Quran (khuluqul ‘adhim/akhlak yang agung) atau masih jauh? Ini yang mestinya kita tekankan, bukan meributkan dalil merayakan maulid boleh atau tidak. Kalau dengan pengajian maulid menambah kecintaan dan akhlak nabi, why not? Jika begini terus, sulit bagi kita untuk naik kelas. Remidi terus. Membahas yang itu-itu terus. Kapan membahas yang lain, misalnya keterpurukan ekonomi umat. Kapan majunya? Bagaimana pendapat Anda? Salam! Ali Murtadlo. Kabar Gembira Indonesia (KGI)
Sumber: