Indonesia, Pelanduk di Tengah Pertarungan Gajah
Oleh Arief Sosiawan Pemimpin Redaksi Tensi politik nasional pekan ini meningkat. Meski tidak sampai mendidih, suhu panasnya cukup bisa dirasakan menyusul manuver-manuver politisi, cuapan pengamat politik, suara mahasiswa, atau gerakan jari-jari netizen yang ramai bercuit di dunia maya. Aksi mereka membuat kegaduhan. Ibarat seruling, bunyi yang terdengar nyaring namun fals. Beberapa suara malah terdengar bak auman serigala. Tegasnya, cuitan netizen, analisis pengamat politik, maupun suara mahasiswa bergemuruh membuat pemerintah harus ekstra hati-hati ketika membuat kebijakan-kebijakan yang menyangkut kebutuhan rakyat banyak. Terakhir, menyusul Omnibus Law UU Cipta Kerja ditetapkan DPRI RI setelah disodorkan pemerintah, rakyat berteriak. Mereka kebakaran jenggota karena tidak dilibatkan dalam proses pembuatan undang-undang tersebut. Dan, salah satu bagian rakyat adalah mahasiswa. Dengan sigap mahasiswa menolak penetapan UU Cipta Kerja menyusul kaum buruh yang sudah berdemo berkali-kali. Dengan berani, mahasiswa memberi deadline kepada Presiden RI Joko Widodo untuk membatalkan undang-undang itu atau mundur dari jabatannya. Tidak tanggung-tanggung, batas waktu yang diberikan mahasiswa; delapan hari terhitung sejak 20 Oktober 2020. Akankan Presiden Joko Widodo “manut”? Agaknya mustahil. Kepentingan presiden pasti jauh lebih besar kalau hanya diukur dari keinginan mahasiswa. Sudah terbukti, sebelum UU Cipta Kerja didemo, tak terhitung demo rakyat (mahasiswa, pelajar, dan buruh) dilakukan. Hasilnya nol besar! Pemerintah bergeming, tutup telinga, tutup mata, mengaanggap hal biasa dan membiarkan mereka berdemo meski sering menindak tegas perusuh demo. Pemerintah justru memberi ruang gerak para pendemo dengan meminta mereka mengajukan keberatan atas UU Cipta Kerja ke Mahkamah Agung (MA). Kegaduhan lain yang memicu naiknya suhu politik pekan ini, soal batalnya Habib Rizieq kembali ke tanah air, Indonesia. Manuver politik model ini jadi pertanyaan banyak kalangan. Memicu spekulasi liar banyak golongan. Ada yang nyinyir mengatakan Rizieq tidak cukup modal untuk kembali ke tanah air. Apalagi, kepulangannya dengan membawa ide reformasi akhlak dinilai tak pantas karena ketua FPI (From Pembela Islam) ini pernah tersandung permasalahan akhlak sebelum pergi ke Saudi Arabia. Tak hanya itu, gagasan imam besar FPI dianggap akan mengacaukan reformasi yang sudah terbangun sejak 1998 di tengah persoalan dugaan kemunculan ideologi komunis, kini makin kencang membumi di tanah nusantara ini. Terakhir, kegaduhan atas kehadiran Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto di Amerika Serikat. Banyak cuitan yang memojokkan mantan calon presiden ini karena sebelumnya dinilai melakukan pelanggaran HAM berat ketika reformasi 1998. Prabowo tetap saja Prabowo. Mantan menantu Soeharto, presiden kedua Indonesia, itu, tegak lurus menghadiri undangan Amerika Serikat untuk pembicaraan kerja sama antara Indonesia dan Amerika Serikat hingga membuat cemburu RRC (Republik Rakyat China). Nah, jika dihubungkan atas ketiga kegaduhan itu, muncul pertanyaan besar ada hubungan antara Omnibus Law UU Cipta Kerja dengan batalnya Riziq pulang ke negerinya sendiri, maupun kedatangan Prabowo ke Amerika Serikat. Sebab, melihat kondisi yang kini terjadi di Selat Malaka, Indonesia terancam karena sedang diperebutkan Amerika Serikat dan RRC yang sama-sama ingin menjadikan “tambang” untuk dikeruk kekayaan alamnya yang melimpah.(*)
Sumber: