Suara Sampah Demokrasi, Suara Tuhan

Suara Sampah Demokrasi, Suara Tuhan

Oleh Arief Sosiawan Pemimpin Redaksi Alih-alih mereda, kemarahan rakyat atas pemberlakuan Omnibus Law UUD Cipta Kerja justru meningkat. Sebagai bukti, Selasa (13/10) yang disimbolkan 131020, muncul kembali gelombang demonstrasi penolakan atas undang-undang itu. Di berbagai daerah, ribuan rakyat turun ke jalan menyuarakan ketidaksetujuan terhadap undang-undang itu. Mereka merasa memiliki alasan kuat berdemo lantaran undang-undang itu dinilai tidak berpihak kepada rakyat. Puncaknya, mereka merangsek bergerak ke bundaran HI di Jakarta. Kelompok yang terdiri dari berbagai elemen (mahasiswa, buruh, pelajar) menyuarakan satu tujuan: menolak keras pemberlakuan UU Cipta Kerja. Sayang, apa pun yang mereka lakukan, nasib rakyat tetap saja sama: terkalahkan! Jangankan didengar suaranya, rakyat pendemo malah dicap sebagai perusuh. Bahkan dilabeli sampah demokrasi seperti pernyataan tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin. Ibarat anak nakal, rakyat (pendemo) diperlakukan kasar dan keras. Tepatnya, seperti terlihat di berbagai tayangan video yang cukup viral, mereka dibuat tak berdaya. Dideskripsikan sebagai bagian yang layak. Selanjutnya secara represif karena dinilai mengganggu ketenangan pemerintahan yang sah. Dari sudut pandang penguasa, rakyat pendemo dinilai tidak memahami isi UU Cipta Kerja. Sehingga, mereka dianggap tidak murni menyuarakan kepentingan rakyat banyak. Buruknya lagi, gerakan mereka malah dituding menjalankan pesanan dari “dalang” yang menginginkan agar ketenangan pemerintah dalam menjaga kenyamanan rakyat hidup bernegara terganggu di tengah kondisi pandemi yang masih mendera negara ini. Kini muncul pertanyaan, benarkah rakyat (pendemo) seperti itu? apakah mereka memang sampah demokrasi? Menjawab itu, sepertinya perlu dilihat apa sebenarnya esensi dari demonstrasi. Kenapa rakyat berdemo. Apa alasan kuat mereka yang tidak setuju UU Cipta Kerja diberlakukan, berunjuk rasa. Pasti akan terungkap, di negara kita yang bersendi pada demokrasi, pendemo sah melakukan aktivitasnya. Mereka dijamin oleh UUD (Undang-Undang Dasar), dimana tiap warga negara mempunyai hak bicara, hak kerja, dan hidup yang layak. Artinya, tanpa harus disuruh, tidak diminta—apalagi didalangi siapa pun saja—ketika merasa butuh beraktivitas menyuarakan kepentingan rakyat akibat ada kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat, lebih elok jika pemerintah atau penguasa memilih mendengarkan suara hati mereka (rakyat). Tidak sebaliknya, membuat diksi-diksi yang makin membuat nilai kepercayaan rakyat kepada pemerintah semakin merosot. Karena pada dasarnya demokrasi itu bersih. Dalam demokrasi, bahkan ada penilaian bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Sebab, demokrasi itu selalu berjalan di atas kepentingan rakyat, bukan kepentingan sekelompok rakyat tertentu, atau segolongan tertentu. Nah, kalau semua menyadari dan memahami kenapa ada penolakan terhadap UU Cipta Kerja, dipastikan ada ketidakberesan dalam undang-undang itu meski pemerintah mati-matian ngotot untuk memberlakukannya. Bagai nila setitik, rusak susu sebelanga. (*)

Sumber: