Ngaku Paman untuk Ambil Jenazah, Keluarga Lapor ke Polisi

Ngaku Paman untuk Ambil Jenazah, Keluarga Lapor ke Polisi

Surabaya, Memorandum.co.id - Pengambilan jenazah Nabila Dwi Lestari, asisten rumah tangga di Jalan Simolangit Gang III Surabaya, yang meninggal tidak wajar di kamar tanpa autopsi berujung ranah hukum. Sebab, Doni Sofan Rahmad Fauzi, tetangga asal Dusun Kalirejo, Dusun Simojayan, Kecamatan Ampel Gading, Kabupaten Malang, yang mengaku paman korban akhirnya terseret pidana dengan memalsukan surat pernyataan. Ini setelah keluarga korban tidak terima atas kematian Nabila yang tidak wajar, bahkan ada indikasi diduga sebagai korban pembunuhan. “Terdakwa mengaku sebagai paman dari jenazah Nabila Dwi Lestari dan meminta agar tidak dilakukan autopsi dengan alasan sudah mengetahui jika keponakannya mati karena sakit karena sebelumnya telah mengaku sakit,” ujar jaksa penuntut umum (JPU) Harwiadi, Rabu (7/10/2020). Lanjut Harwiadi, selanjutnya oleh terdakwa surat pernyataan diserahkan kepada pihak RSUD Dr Soetomo sehingga atas dasar surat pernyataan itu rumah sakit mengizinkan jenazah untuk dibawa pulang. “Jenazah tidak usah disucikan karena di rumah sakit sudah disucikan, segera disalati dan langsung dimakamkan. Pihak keluarga dan warga curiga, akhirnya jenazah dibuka ternyata di bagian mulutnya mengeluarkan darah segar, sehingga warga melaporkan ke polsek setempat dan mengembalikan jenazah ke RSUD Dr Soetomo untuk diautopsi,” ujar JPU Harwiadi. Atas dakwaan itu, tim penasihat hukum terdakwa tidak mengajukan eksepsi. JPU Harwiadi lalu menghadirkan dua saksi yaitu Riwati, ibu dari Nabila, dan Supriono, paman dari Nabila. Dalam kesaksian Riwati, majelis hakim dan tim penasihat hukum terdakwa sempat kesulitan karena saksi tidak bisa berbahasa Indonesia. Untuk itu, majelis hakim menghadirkan penerjemah dari panitera pengganti. Riwati menjelaskan, bahwa selama ini anaknya bekerja di Surabaya. saat berangkat ke Surabaya sempat diantar oleh terdakwa, yang tidak lain adalah tetangganya di desa. “Nabila sempat cerita kalau sakit, tapi ketika saya tanya sakit apa dia tidak bilang apa-apa,” ujar Riwati. Lain halnya dengan kesaksian Supriono. Paman korban ini sedikit lebih kencang dibandingkan kesaksian Riwati. Bahkan, dia mengatakan dugaan pembunuhan dengan konspirasi untuk menghilangkan barang bukti. “Dari hasil autopsi, ada sentuhan benda tumpul di bagian mulut dan kehabisan oksigen,” tegas Supriono. Untuk itu, atas surat kuasa dari kepala desa diirnya mengurus surat kematian dan melaporkan ke Polrestabes Surabaya. “Saya diberi kuasa. Dan saya minta untuk diautopsi,” pungkas Supriono. Sementara itu, Aris Eko Prasetyo, penasihat hukum terdakwa mengatakan, bahwa Nabila dan ibunya sduah lama tinggal dengan Doni sehingga seperti diangap keluarga sendiri. “Ibunya minta tolong untuk diambil anaknya. Gimana caranya. Tidak bisa kalau tidak ada pernyataan dari keluarga, dia paham bukan keluarga yang kandung. Tapi masyarakat tahu saudara dekat,” jelasnya. Surat penolakan autopsi, tambah Aris, bahwa terdakwa orang awam dan dimintai tolong ibunya sambil menangis bagaimana jenazah korban bisa pulang. “Di situ tidak bisa kalau tidak ada surat pernyataan, maka di polsek dibuat surat pernyataan. Otomatis karena ibunya minta dibawa pulang, akhirnya dibawa pulang. Tapi sampai di rumah, pamannya yang begini-begini ibunya yang awalnya minta tolong sekarang berubah tidak menyuruh,” jelasnya. Kondisi luka, lanjut Aris, bahwa terdakwa tidak bisa melihat dan ditunjukkan jenazah dan surat-suratnya lalu dibawa pulang. “Waktu itu dilihat sekilas bersih. Cuma kenapa kok samapi rumah lebam, itu sudah digelar di polda lebamnya karena kematian bukan dipukul. Kalau sudah berapa jam, darahnya membeku, biru, dam cairan keluar itu wajar. Sampai hari ini tidak ada tersangka pembunuhannya,” pungkas Aris. (fer/gus)

Sumber: