Ustaz Azis-Umi Risa Memberi Pelajaran Jemaah Beristri Cerewet
Terdengar Omelan Hampir Setengah Jam. Panjang tapi Tak Jelas
Sabtu lalu Memorandum bersilaturahmi ke rumah Ustaz Azis di kawasan Wiyung. Waktu itu Ustaz bersama istrinya, sebut saja Umi Risa, sedang menyiram bunga. Tahu kedatangan Memorandum, mereka mandek beraktivitas. Kami pun jagongan di teras samping rumah yang asri. Suguhan pisang goreng dan kopi tanpa gula menambah hangat suasana. Kami ngobrol ngalor-ngidul tentang kondisi tanah air akhir-akhir ini yang dinilai cukup memprihatinkan. Ya utang negara. Ya pandemi corona. Ya ancaman resesi. Ya pilkada serentak. Hingga upaya pembunuhan Syekh Ali Jaber. “Kita berada di pintu gerbang akhir zaman. Jadi harus hati-hati ber-apa pun. Ingat Allah,” kata Ustaz. Uni Risa mengiyakan. Selebihnya kami bersenda gurau. Prinsip suami-istri ini: tidak ada sesuatu pun yang berat, karena itu semuanya harus disikapi dengan suka ria. “Hanya orang-orang yang mengejar kenikmatan dunia yang merasakan beratnya hidup. Mudah-mudahan kita selalu dalam kendali Gusti Allah,” kata Umi Risa. Memorandum dan Ustaz mengamini. Tiba-tiba HP Ustaz bergetar. “Telepon masuk. Dari jemaah (Ustaz Azis menyebut nama masjid, red). Sebentar,” kata Ustaz Azis sambil memencet tombol OK agar sambungan aktif. Ustaz lantas menempelkan bilah HP ke dekat telinga kiri. Beberapa saat kemudian dia merespons, “Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh… Iya… Iya… Monggo… saya tunggu di rumah. Iya… Waalaikumussalam.” Selesai. Ustaz Azis meletakkan kembali HP di meja. “Tunggu sebentar di sini,” kata Ustaz sambil memberi isyarat agar Umi Risa mengikutinya masuk rumah. Jujur saja Memorandum nggak nyaman dan sekalian mau pamit. “Jangan. Di sini saja dulu. Mau ada tamu. Mas Yuli harus menyaksikannya,” kata Ustaz, kemudian berlalu bersama Umi Risa. Mesra. Bergandengan tangan kayak Galih dan Ratna dalam film lawas Gita Cinta dari SMA. Seperempat jam kemudian Ustaz Azis balik. Sendirian. Kami melanjutkan obrolan. Kali ini soal pilwali Kota Surabaya. “Ustaz pilih siapa? Pasangan Eri-Armuji atau MA-Mujiaman?” pancing Memorandum. Ustaz Azis tertawa, “Tidak ada. Sebab, pada kedua pilihan ada calon dari birokrat yang notabene sama-sama staf ketua partai di eksekutif. Dan, pasangan masing-masing malah lebih jelas. Sangat jelas.” Memorandum belum sempat menanggapi ketika tamu yang tadi menelepon Ustaz Azis datang. Kami lantas basa-basi bertiga. Belum lama, Umi Risa terdengar keras memanggil saminya. Ustaz masuk rumah. Tak lama kemudian terdengar suara Umi Risa lebih keras. Ngomel-ngomel. Soal apa, tidak jelas. Cuma terdengar ngomel-ngomel. Cukup lama. Lebih dari setengah jam. Setelah itu Ustaz Azis keluar. Wajahnya sangat terlihat diceria-ceriakan. “Biasa. Perempuan. Kita harus sabar,” kata Ustaz. Kami ngobrol lagi. Seperti biasa. Seperti tidak ada apa-apa. “Jadi, Mas Heri (nama tamu, red) mau bercerita apa?” kata Ustaz, yang buru-buru dijawab Heri, “Tidak jadi, Ustaz. Lain kali saja.” Heri bahkan langsung pamitan. Dia melangkah keluar halaman dengan cepat. Bersamaan dengan hilangnya deru mobil Heri, Umi Risa muncul dari dalam. “Bagaimana? Berhasil?” tanyanya sambil tersenyum. Ustaz Azis balas tersenyum. Meski agak telat, Memorandum akhirnya ikut tersenyum. “Hahaha... Ustaz dan Umi memberi pelajaran Mas Hari seperti Khalifah Umar memberi pelajaran tamunya yang hendak mengadukan istrinya yang cerewet ya?” tanya Memorandum. Ustaz dan Umi kembali tersenyum. Lebih lebar. (*) Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasihSumber: