Dilaksanakan dengan Tanggung Jawab
Surabaya, memorandum.co.id - Diterapkannya Peraturan Jaksa Agung nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, mendapat respons positif dari pihak pengadilan. Namun, meski adanya payung hukum tersebut diharapkan tidak malah menimbulkan suatu kekisruhan. Di mana nanti ada perkara-perkara yang ada tanda petiknya bisa didamaikan. Seperti yang dikatakan Humas Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Martin Ginting. Bahwa, seolah-olah perkara bisa diatur dan itu yang harus menjadi perhatian serius. “Harus dilaksanakan dengan tanggung jawab. Kita harapkan, teman-teman JPU (jaksa penuntut umum) di kejaksaan bisa melaksanakan ini dengan lebih berhati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi masyarakat. Perkara diselesaikan ini itu, tentunya ada asas terbuka untuk umum dan tidak ada masalah di belakang hari,” ujar Ginting. Ginting memberikan contoh seperti kasus kecil yang mencuat di beberapa daerah misalnya pencurian kakao, pisang, pihaknya menilai hal tersebut tidak perlu hingga ke pengadilan. Meski hal tersebut sering menjadi pergunjingan dan celah, itu yang dikhawatirkan. “Tapi sepanjang itu benar dan riil perkara, saya kira tidak sampailah ke pengadilan cukup diselesaikan dengan perdamaian. Pelapor yang sudah tak merasa bermasalah lagi, ya sudah langsung diselesaikan di tingkat bawah tidak perlu ke sidang,” jelasnya. Lanjut Ginting, selama ini hakim sifatnya sebagai pelaksana dari undang-undang (UU). Jadi kalau sudah diatur di tingkat pusat oleh aparat penegak hukum dan ada payung hukumnya tentu itu sudah merupakan keputusan yang harus dilaksanakan. “Saya berpendapat itu sah. Dan itu suatu kemajuan, tapi harus dilaksanakan dengan rasa tanggung jawab,” tegas Ginting. Menurutnya, langkah ini sebagai bentuk dukungan terhadap asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di mana peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. “Kami dari kacamata pribadi memandang apabila perkara-perkara tertentu yang memang sifatnya sangat sumir, pembuktian juga tujuannya untuk menghindari penumpukan perkara yang berlarut-larut. Saya kira sah-sah saja, karena proses satu perkara itu biayanya cukup tinggi,” tambahnya. Jika perkara itu bisa diselesaikan secara keadilan restoratif maka sangat baik. “Kita hubungkan dengan tradisi kita di Indonesia yang saling memaaafkan. Kalau sudah saling memaafkan, tidak ada lagi problem hukum yang secara konkrit,” pungkas Ginting. (fer/nov)
Sumber: