Legalkan 86 Kasus Hukum, Banyak Celah Pelanggaran
Surabaya, memorandum.co.id - Masih ingat kasus seorang nenek tertuduh mencuri tiga buah kakao di Darmakradenan, Banyumas, Jawa Tengah, yang dijerat pasal 362 KUHP? Sungguh memprihatinkan. Gegara hanya mencuri dengan jumlah kerugian Rp 30 ribu, hakim memutuskan nenek tersebut dihukum 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Tidak hanya itu, kasus kecil lainnya juga menimpa seorang siswa sekolah menengah pertama (SMP) yang harus meringkuk di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, lantaran dituduh mencuri voucher perdana HP senilai Rp 10 ribu. DL dikenakan pasal 363 KUHP tentang Pencurian. Di Surabaya sendiri juga banyak kasus yang hanya sekadar mencuri sandal di masjid, mencuri buah di pasar, dan mencuri kotak amal di masjid dengan jumlah kerugian kecil hanya karena urusan masalah perut berujung pidana. Masalahnya sepele, korban biasanya meluapkan emosi dibandingkan solusi untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Itu hanya sebagian contoh kecil yang mencuat ke permukaan umum. Bagaimana dengan perkara-perkara lainnya yang tidak sampai terekspos media terutama kasus kecil hingga harus diputuskan di meja hijau pengadilan. Padahal, ada beberapa kasus yang pelakunya anak di bawah umur yang tidak berhasil menemukan solusi penyelesaian kasus ketika di kejaksaan, namun ketika dilakukan kembali mediasi di pengadilan, kasus itu tidak dilanjutkan karena memang ada titik temu. Korban melihat masa depan anak tersebut masih panjang. Dan hukuman penjara, bukan satu-satunya cara menyelesaikan suatu perkara sebagai efek jera. Mengaca dari beberapa kejadian di atas, maka kejaksaan mempunyai payung hukum bahwa ada perkara-perkara yang dinilai dengan hukuman dan kerugian kecil akhirnya muncul Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Kejaksaan melihat bahwa pengadilan mempunyai asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di mana peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Selain itu, dengan tidak dilanjutkannya perkara itu jika sudah ada titik temu maka bisa mengurangi penumpukan perkara dan overload tahanan. Namun, jika dalam mediasi yang melibatkan semua pihak mulai kepolisian, jaksa, tersangka, korban, dan masyarakat tidak bisa diselesaikan maka perkara tetap akan dilanjutkan ke pengadilan. Tapi ini apakah sudah menjadi solusi terbaik dalam penyelesaian perkara dengan cara damai. Menurut Sudiman Sidabukke, salah satu advokat saat dikonfirmasi Memorandum, bahwa penerapan keadilan restoratif ini masih banyak ditemukan celah-celah pelanggaran dalam pelaksanaannya. Untuk perkara yang dihentikan di kejaksaan, dan tidak sampai di pengadilan, tambah Sidabukke itu pasti ada. “Tapi problemnya tidak pernah terbuka karena kejaksaan dalam hal itu tidak pernah diterbitkan surat penghentian penuntutan. Kalau surat penghentian penuntutan digelarnya di kejaksaan agung,” ujarnya. Sidabukke menambahkan, bahwa hal tersebut tidak terlalu ideal. Tentu kalau masyarakat itu memang ada persoalan memang suatu kebutuhan masyarakat. “Tapi kalau ini dilakukan dari segi pendekatan hukum bertentangan dengan undang-undang. Kenapa, karena perkara itu sudah P21 (berkas sempurna) dan dilimpahkan tahap dua. Berarti dari segi asas legalitas mesti diputus pengadilan. Tapi mereka menghentikan itu,” ujarnya. Lanjutnya, dulu jaksa menghentikan tuntutan ada namanya deponering (mengesampingkan) dan itu sejak zaman kolonial sudah ada. “Tapi titik beratnya untuk kepentingan umum. Tetapi kalau ini namanya bukan deponering tapi tetapi lebih menekankan kepentingan para pihak,” jelas Sidabukke. Disinggung soal celah, Sidabukke menegaskan tidak menutup kemungkinan hal itu ada. “Masyarakat memang menginginkan itu. Tapi dari kajian hukum layak untuk dikritisi,” ujarnya. Tambah Sidabukke, bahwa itu melunturkan asas legalitas. Karena asas legalitas itu diatur undang-undang. Sementara peraturan jaksa agung jauh di bawah undang-undang. “Jadi, sekarang ini menurut hemat saya penegakan ke ranah hukum tambal sulam. Di mana, pengadilan dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dengan membuat keputusan manakala kerugian tidak sampai Rp 2,5 juta tidak ditahan. Lalu polisi membuat peraturan perkara bisa dihentikan,” beber Sudiman. Jadi artinya, masih kata Sudiman, hal-hal seperti itu mesti diatur dengan peraturan bersama. Mulai dari pengadilan, kepolisian, dan kejaksaan. Sementara itu, Ketua DPD Kongres Advokat Indonesia Provinsi Jawa Timur Abdul Malik berharap aturan yang terbit pada 21 Juli 2020 itu bisa menjadi jawaban atas tuntutan keadilan masyarakat. "Setuju sekali karena tujuannya untuk kebaikan, namun tetap diperhatikan seharusnya dari pihak kejaksaan agung harus menyosialisasikan kepada kejati dan kejari juga kepada jaksa yang menangani perkara, khususnya kepada pihak kepolisian agar dapat disosialisasikan juga kepada masyarakat," katanya. Dirinya mengapresiasi langkah kemajuan yang dilakukan Kejagung RI dalam menerapkan hukum di Indonesia. Keputusan Itu merupakan keputusan yang tepat, karena kembali kepada ruh dasar hukum negara kita, Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yaitu musyawarah dan mufakat. "Di samping itu tetap lebih banyak kelebihannya, dengan berlakunya perja ini akan mengurangi penumpukan perkara di kejaksaan, juga mengurangi jumlah overload di penjara, dan masih banyak lagi," ungkap Malik. Malik menyampaikan, masih banyak kenakalan oknum-oknum tertentu baik dari pihak kejaksaan maupun kepolisian. "Faktanya mafia hukum itu banyak bergentayangan, oknum kepolisian, kejaksaan, ini yang perlu mendapat perhatian oleh negara. Orang tahu hukum tapi tidak taat hukum," tegas Malik. (mg1/mg2/fer/nov)
Sumber: