Kisah Sumarno, Pedagang Mainan Keliling Menyambung Hidup di Tengah Pandemi

Kisah Sumarno, Pedagang Mainan Keliling Menyambung Hidup di Tengah Pandemi

Surabaya, memorandum.co.id - Kondisi perekonomian keluarga yang mencekik membuat Sumarno (61) harus banting tulang sekadar mencukupi keperluan dapur keluarga. Usianya yang tak lagi muda tak membuatnya pantang menyerah pada keadaan. Pria yang berasal dari Lamongan ini tetap semangat mengadu nasib dengan berjualan kerajinan keong dari satu kota ke kota lain. Sejak 1987, Sumarno berjuang menghidupi empat anaknya dengan berjualan kerajinan keong hias. Istrinya bertugas membuat kerajinan, sedangkan Sumarno yang menjajakannya. Keong tersebut Ia dapatkan dari Bojonegoro dengan mencari sendiri di sawah-sawah lalu dikreasikan sendiri. Sumarno memulai usaha dagang ini mulai dari kota Jakarta, Cilacap, Purwokerto, Tegal, dan yang terakhir kini di Surabaya. Dia mengaku hampir separuh hidupnya dihabiskan di jalan secara nomaden. Sumarno mengaku kerap tidur di jalanan, jembatan, bahkan sempat mencoba tidur di mushola namun diusir karena dianggap 'kotor'. "Ya berjualan buat menghidupi anak cucu, anak-anak sudah pada berkeluarga, mereka juga kerja jualan mainan. Jadi sungkan juga mau minta," kata Sumarno dengan tetap menyunggingkan senyum. Bapak empat anak ini mengakui jika saat ini keadaannya begitu sulit. Omset penjualannya terus menurun sejak adanya pandemi covid-19. Meski begitu, istrinya di rumah tetap memintanya berjuang mencari uang untuk mengisi perut. Sumarno pun berkeliling dari satu rumah ke rumah lain, dari satu kota ke kota lain. Sebab untuk mangkal di sekolah-sekolah sudah tidak bisa lantaran sudah tutup dan berganti model daring. Dalam menjajakan produknya, Sumarno mematok harga Rp 3.000 hingga Rp 5.000. Untuk hasil total penjualan setiap harinya tidak menentu, bahkan pernah dalam sepekan barangnya tidak laku sama sekali. "Kadang dikasih makan orang-orang atau warga sini," katanya pahit namun tetap dalam sunggingan senyum meski tipis. Sumarno mengaku hingga kini masih belum tinggal di rumah tetap maupun kos-kosan. Dia menjalani hidup nomaden mengikuti ke mana pun arah kaki membawanya menjemput rejeki. Sementara sang istri tinggal sendiri di rumah, jauh di Lamongan sana. Sumarno berharap ada orang baik yang mau menolong anak-anak dan cucunya agar tidak bernasib sama sepertinya.(x1)

Sumber: