Dikira Meludah di Lantai, Orang Tua Dituding-tuding

Dikira Meludah di Lantai, Orang Tua Dituding-tuding

Yuli Setyo Budi, Surabaya Lisa sakit hati. Apalagi, permintaan itu disampaikan secara terbuka di hadapan saudara-saudaranya. Terjadi perdebatan seru. Menegangkan. Ternyata tidak hanya suami Lisa yang enggan diikuti ayah. Saudara-saudaranya juga. Fakta ini di luar jangkauan pikir Lisa. Kalau saudara-saudaranya tidak bersedia diikuti sang ayah, dia masih bisa memakluminya. Kondisi ekonomi mereka sangat pas-pasan. Dua kakaknya yang tinggal di luar Jawa menetap di daerah terencil sehingga tak mungkin merawat ayahnya yang sakit-sakitan dan membutuhkan tindakan medis sewaktu-waktu. Apalagi ikut adiknya yang tinggal di manca negara, sangat tidak mungkin. Satu-satunya harapan adalah tinggal bersama Lisa di Surabaya. Tapi, nyatanya Didin menolak. Tanpa menunjukkan alasan penolakannya, Didin bersikeras bahwa dia tidak mau sang mertua tinggal di rumahnya. “Aku dipaksa menaruh Ayah di panti jompo,” kata Lisa di ruang tunggu Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, belum lama ini. Lisa mengaku sudah tidak kuat dengan perlakuan suami yang selalu minta menang sendiri dalam urusan apa pun. Terutama soal ayahnya ini. Sudah sekitar 20 tahun dia menahan diri, sejak awal menikah. Lisa sudah pernah mempunyai keinginan bercerai pada tahun-tahun pertama menikah, tapi dihalang-halangi ibunya. Alasan ibu waktu itu, Didin mungkin berperilaku keras karena belum menjadi seorang ayah. Setelah mempunyai anak, diharapkan sikap Didin berubah. Dengan sabar Lisa lantas menanti kehadiran momongan. Tapi begitu Nanang lahir, tidak ada perubahan pada perilaku Didin. Dia tetap kasar, bahkan mulai suka turun tangan. “Walau begitu aku tetap mempertahankan rumah tangga k ami,” kata Lisa. Tidak menunggu sampai selamatan hari ketujuh, Didin sudah balik ke Surabaya. Tanpa pamit. Tiba-tiba saja Didin menghilang bersama Nanang. Lisa mengetahui  ini dari telepon Nanang. Akhirnya setelah selamatan hari ke-40, Lisa baru pulang. Dia nekat mengajak sang ayah. Langkah ini diambil karena tidak ada alternatif lain. Apalagi, sejak pulang dari rumah sakit, ayahnya terpaksa harus menjalani sisa hidup di atas kursi roda. Lisa mengambil keputusan ini tanpa izin suami. Sebab, tidak ada lagi tempat yang layak bagi sang ayah. Dititipkan tantenya di desa sangat tidak mungkin, apalagi tantenya bukan orang berada. Padahal, hanya tantenyalah satu-satunya kerabat yang ada. Ternyata kenekatan Lisa harus ditebus dengan harga mahal. Belum genap lima hari di rumah, ayahnya dibentak-bentak Didin karena meludah di lantai. “Sebenarnya tidak di lantai. Sudah disediakan baskom kecil untuk Ayah meludah. Baskom ini Ayah bawa ke mana pun. Tapi, siang itu pas meludah, baskomnya jatuh dan isinya tumpah,” tutur Lisa. Di hadapan Lisa dan Nanang, Didin marah besar. Dia perkak-perkak  seperti orang kesurupan. Ayahnya dituding-tuding dan bantalan kursi di punggungnya dibanting. Terkejut, ayah Lisa terkena serangan jantung. “Ayah kubawa ke rumah sakit. Sampai sekarang masih di sana. Aku belum pulang. Kini aku mau konsultasi bagaimana cara menggugat cerai. Aku sudah tak kuat,” kata Lisa, “Nanang mendukung aku.” (habis)

Sumber: