“Ya, Allah!” Lalu Koma

“Ya, Allah!” Lalu Koma

Teman sekaligus senior saya di JP, Mas Yamin Achmad, baru sembuh dari komanya. Dia sekitar empat bulan lalu, saat bersepeda tertabrak sepeda motor di depan Dolog. Kepalanya membentur aspal. Koma selama 21 hari di RS Bhayangkara Polda. Alhamdulillah sekarang sudah sembuh. Bahkan, sudah dua minggu ini ikut senam. Walau dengan gerakan pelan-pelan. Tentu saja banyak teman yang menyambutnya, menyelamati atas kesembuhannya. Saya tertarik ceritanya. "Kata yang nabrak, begitu saya terpelanting, saya masih berteriak: Ya Allah. Sejak itu, saya tidak sadar selama 21 hari. Selama itu pula, saya tak boleh gerak. Anak saya yang mau lulus dokter, disuruh menjaga agar saya tidak gerak yang membahayakan syaraf otak," katanya. "Alhamdulillah sekarang saya tinggal recovery saja. Terutama syaraf bau saya masih belum normal. Masih pengobatan terus. Doakan segera normal," katanya yang "diamini" oleh teman-teman peserta senam terutama teman-teman Cowas (seduluran konco lawas JP Group) yang aktif senam yan senang menyambut kehadirannya. Yang saya juga kagumi lagi, cerita Mas Yamin yang ini. "Kata anak saya, ketika saya koma, anak saya iseng menaruh tasbih di tangan saya.Tahu kalau ayahnya suka wiridan menggunakan tasbih. Anehnya, kata anak saya, begitu tangan saya memegang tasbih, tatkala masih koma itu, tangan saya bisa memutar tasbih. Terus tiada henti," katanya. "Saya sendiri karena masih belum sadar tidak menyadari hal itu. Saya dikasih tahu anak saya setelah sadar," katanya. Itulah the power of habit. Luar biasa. Kebiasaan yang sudah masuk subconcious mind, otak bawah sadar. Sudah built in dalam tubuh. Sudah benar-benar inherent. Internalized. Menyatu. Meski koma tetap bisa mempraktikkannya. Oleh karena itulah, oleh agama kita disuruh melakukan sebanyak-banyaknya. Dzikron katsiron, zikir yang banyak. Bukrotan wa asilan, pada waktu pagi dan petang. Hiina tumsun, wahiina tusbihun, pada waktu malam, dan pada waktu subuh. Mas Yamin sudah mempraktikkannya. Sekaligus membuktikannya. Gampang mengetesnya apakah habit itu sudah nyantol di otak bawah sadar kita. Jika Anda kaget, Anda berteriak apa? Tergantung kebiasaannya.Yang terbiasa misuh, akan misuh. Yang terbiasa menyebut "jaran" akan berteriak jaran. Begitu juga jika menguap, yang biasa "ayam goreng" ya akan keluar "ayam goreng". Tentu saja yang biasa berzikir akan keluar bacaan-bacaan baik itu. Nah, masalahnya adalah apakah kata-kata terakhir kita yang bakal keluar dari bibir kita jika maut menjemput. Ada yang berteriak-teriak tidak karuan, ada yang tidak mengatakan apa-apa, ada yang berteriak "sakit" dan yang luar biasa adalah ada yang bertahlil disertai senyum di bibirnya. Wafat yang indah. Yang kita impikan. Cara meninggalpun macam-macam ada yang meninggal di rumah, di RS, ada yang kecelakaan di jalan raya, ada yang di pesawat, ada juga seorang qori' yang meninggal saat membaca Al Quran di kediaman Ibu Khofifah (saat itu belum jadi gubernur), ada juga seorang ulama yang meninggal saat ceramah di depan para santrinya. Ada juga imam masjid yang meninggal saat bersujud di kala menjadi imam di masjid. Kematian yang sungguh kita idamkan. Karena itulah, doa kita setiap saat agar kita diwafatkan dalam keadaan husnul khotimah, akhir hidup yang baik. Mari kita praktikkan sekarang juga. Semoga masih ada cukup waktu untuk memasukkan semua kebiasaan baik itu ke dalam otak bawah sadar kita. Semoga sudah cukup terlatih jika sewaktu-waktu dipanggilNya. Aamiin. Salam!

Sumber: