Tutut, Puan, AHY, Gibran

Tutut, Puan, AHY, Gibran

Oleh: Ali Murtadlo Saya tidak membahas politik. Saya membahas cinta kasih keluarga. Maafkan kalau menyerempet sedikit. Batasnya begitu tipis. Ketika masih aktif hunting di lapangan dulu, saya beberapa kali bekesempatan mewawancarai Pak Domo. Sudomo, menkopolhukam yang paling ngetop di zaman Pak Harto. Pria ini benar-benar newsmaker pada zamannya: karena berani ngomong apa saja sebagai menko, karena ketua golf Indonesia, dan karena Sisca, istri barunya yang muda nan cantik jelita, kerap dibawa. Paling asyik mewawancarai beliau saat sendirian (eksklusif). Bisa tanya apa saja termasuk pertanyaan sensitif ini: apakah Pak Domo pernah bicara dengan Pak Harto mengenai putra-putrinya?" Dijawab cepat: "Pernah sekali! Pak Harto duko (Bahasa Jawa tinggi untuk marah)," kata menteri kelahiran Malang ini. "Saya dan Ibu (Bu Tien) sangat mencintai anak-anak saya," lanjutnya menirukan Pak Harto. Sejak itu, Pak Domo tidak pernah menyinggung sekali pun soal paling peka itu setiap berbincang dengan Pak Harto. Sebagai menkopolhukam beliau pasti mengetahui bahwa rakyat banyak "ngerasani" (mengobrolkan di tingkat paling informal) mengenai bisnis putra putri Pak Harto yang saat itu sangat menonjol. Tutut dengan Citra Lamtoro Gung Persada-nya, Bambang dengan Bimantaranya, Tommy dengan Humpussnya. Pak Harto tidak suka disinggung soal ini. Lalu saya membayangkan Bu Mega dengan putrinya Puan Maharani yang kini menjadi Ketua DPR RI, sebelumnya Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI. Saya membayangkan bagaimana Pak SBY mengader AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) yang kini menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Lalu, saya membayangkan Pak Jokowi dengan Gibran yang kini tengah maju menjadi Calon Wali Kota Solo. Sebagai orang tua, semua tentu menginginkan anak-anaknya "bisa menjadi orang", kuat ekonominya, menjadi pemimpin sebagaimana ayah/ibunya, dan sebisa-bisa mungkin bermanfaat untuk orang banyak. Untuk itu, dibantu modalnya, dibantu aksesnya, dibantu membuka jalannya. Ada yang ganjilkah? Cobalah apa yang akan kita lakukan untuk menjadikan anak-anak kita "menjadi orang"? Sama: membantu modalnya, aksesnya, jalannya. Adakah yang beda? Sama. Dan, menurut saya, wajar saja. Kita, jika disambati anak-anak, juga akan melakukannya. Ini adalah persoalan cinta keluarga. Menjadikan anak cucu sesiap mungkin menghadapi persoalan kehidupan ini: ekonomi, pendidikan, karier, karakter, dan kemanfaatannya di masyarakat. Bahwa ada yang terlalu cepat, terlalu banyak (greedy), terlalu menyikut, terlalu terburu-buru itu adalah persoalan etika yang ukurannya sangat relatif. Apakah mengader anak 30 tahunan, terlalu muda adalah relatif. Apakah jabatan wali kota terlalu terburu, adalah relatif. Apakah langsung jadi menko posisi yang pas, adalah relatif, apakah perusahaan anaknya boleh mengikuti tender proyek sementara bapaknya memimpin negeri, adalah relatif. Semua terkait dengan selagi orang tua masih "in power". Jadi, menyangkut kesempatan. Now or never. Tutut punya hak, Puan punya hak, AHY dan Gibran juga. Beri kesempatannya, biar waktu yang membuktikan mampu tidaknya. Kompeten tidaknya. Membuktikan kapasitasnya. Setelah lolos legal requirements, fairness questions, dan terakhir ethics check questions, mereka sendirilah yang harus pintar-pintar mengukurnya. Alat ukurnya kerap kali bukan kepintaran, bukan otak, bukan syahwat, tapi kematangan dan wisdom. Hati nurani yang suci bersih membantu membuat keputusan yang paling pas dan wise. Agama menajamkannya. Semoga menjadi ayah dan ibu terbaik dari anak-anak yang terbaik, bermanfat bagi nusa dan bangsa. Jauh dari tamak, rakus, dan menghalalkan segala cara (Machiavellianism). Negeri ini sangat merindukan pemimpin terbaik dan terbijak yang mau berkorban untuk kapal besar bernama NKRI. Bukan aji mumpung mengeruk kekayaan untuk hajat pribadi dan segelintir kelompok. Salam! (*)  

Sumber: