Dewan Minta Penyedia Rapid Test Patuhi Batas Biaya Tertinggi

Dewan Minta Penyedia Rapid Test Patuhi Batas Biaya Tertinggi

Surabaya, Memorandum.co.id - Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, Laila Mufidah meminta seluruh pihak penyedia layanan rapid test agar mematuhi aturan terakit batas biaya tertinggi yang telah dikeluarkan pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang penetapan batas tertinggi untuk pemeriksaan rapid test sebesar Rp 150 ribu. "Artinya, penyedia rapid test kesehatan tingkat pertama maupun rujukan rapid test rumah sakit Surabaya harus memperhatikan penetapan batas tertinggi dari Kemenkes tersebut," ucap Laila Mufidah, Jumat (10/7). Laila Mufidah menjelaskan, jika biaya rapid test antibodi yang dikakukan di rumah sakit, puskesmas dan fasilitas umum di Surabaya masih melebihi Rp 150 ribu tentu tidak realistis. "Jika penyedia rapid test di Surabaya masih saja tidak patuh atau membandrol tarif rapid test lebih mahal dari penetapan Kemenkes. Saya harap ada tindakan tegas berupa teguran oleh Kemenkes melalui dinas kesehatan setempat," ucapnya. Selain itu, Laila Mufidah meminta kepada Dinas Kesehatan segera melakukan rapid test massal terhadap para santri di Surabaya menjelang kegiatan belajar mengajar pondok pesantren yang akan segera dibuka. "Karena saya dapat banyak aduan dari sejumlah wali murid santri-santri, mengeluh dengan biaya rapid test mandiri. Saya meminta agar dinas kesehatan segera melakukan rapid test gratis bagi ratusan santri penerus anak bangsa sebelum berangkat ke pondok-pondok pesantren. Jangan sampai santri putus sekolah gegara tidak mampu membiayai rapid rest mandiri," tandasnya. Sementara itu, Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair), Dr Windhu Purnomo mengaku, penerbitan SE Kemenkes tujuannya baik. "Tapi pada dasarnya kekuatan SE Kemenkes masih lemah. SE itu hanya berlaku di intern Kemenkes, tidak ke eksternal. Harusnya Kemenkes membuat Permenkes, lebih kuat untuk mengatur penetapan harga tertinggi rapid test tersebut. Jika ada penyedia rapid test tidak patuh, maka bisa kena sanksi," ungkap Windhu. Terkait kebijakan Pemkot Surabaya, yaitu warga berpergian wajib harus memiliki syarat rapid test, menurutnya, kebijakan itu sudah tidak benar, karena orang non reaktif belum tentu negatif covid. "Sebab kebijakan alat Rapid test hanya untuk orang bebas covid, itu keliru yang dilakukan pemerintah. Alat itu hanya untuk ngetes antibodi saja. Harusnya yang bisa mendeteksi virus covid adalah PCR bukan rapid test," terang dia. Lanjutnya, jika SE Kemenkes diterapkan harus dilihat dari sisi standarisasi kualitas alat rapid test tersebut. "Alat rapid test ada yang valid dan tidak valid. Kebanyakan alat sekarang banyak yang gak valid, kualitanya dibawah 50 persen. Kami minta harusnya ada standarisasi alat rapid test sebelum menerapkan SE Kemenkes maupun Permenkes," pungkasnya.(why)

Sumber: