DPRD: Kebijakan Risma Resahkan Peserta UTBK

DPRD: Kebijakan Risma Resahkan Peserta UTBK

Surabaya, Memirandum.co.id - Reni Astuti, Wakil Ketua DPRD Surabaya menilai, surat Wali Kota Tri Rismaharini terkait kewajibab menunjukkan bukti uji rapid test dengan hasil non-reaktif atau swab test dengan hasil negatif bagi peserta Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) tujuannya baik. Hanya saja dianggap mendadak dan waktunya sempit. Reni mengaku, banyak pengaduan yang masuk ke dirinya dan dinamika di media sosial serta respon publik, warga, orang tua dan respon peserta yang dirasakan adalah kebijakan ini mendadak. Menurutnya, kebijakan yang mendadak ini tentunya membawa persoalan baru, di antaranya menimbulkan keresahan. "Siswa SMA dan siswa SMK lulusan angkatan 2020 yang dikenal ‘Angkatan Corona’ ini lagi-lagi harus diuji, karena sebelumnya mereka tidak bisa menikmati kegiatan-kegiatan yang sebelumnya dilakukan kakak kelas mereka. Misalnya wisuda, pelepasan dan rekreasi bareng seangkatan," kata Reni, Minggu (5/7). Tidak bisa menikmati proses belajar mengajar bersama teman dan guru di sekolah, anak juga kehilangan momen dan waktu bermain dengan teman-temannya. "Sekarang mereka dikejutkan aturan yang mendadak untuk mewajibkan rapid test atau swab test sebagai syarat UTBK," keluh Reni. Semestinya, lanjut Reni, peserta UTBK mendapatkan suasana yang kondusif, tenang dan fokus untuk mempersiapkan ujian yang akan berlangsung. Dengan adanya kebijakan tersebut, orangtua dan anak menjadi kaget dan resah. "Ini tentunya menjadi hal yang kurang baik bagi anak-anak. Kita sebagai orang dewasa dalam mengambil kebijakan kurang memperhatikan suasana hati anak-anak kita yang tengah memperjuangkan mimpinya untuk masuk perguruan tinggi yang diinginkan," protesnya. Namun Politisi PKS ini memahami jika pertimbangan pemerintah kota Surabaya untuk mewajibkan rapid test atau swab test untuk mencegah penyebaran covid-19, utamanya demi kesehatan dan keselamatan bersama memiliki maksud yang baik. "Pemerintah daerah memang harus bertanggung jawab untuk mengendalikan penyebaran covid-19 di wilayahnya, apalagi Surabaya zona merah Covid-19," tandasnya. Tapi, lanjutnya, maksud yang baik tentunya harus diimplementasikan pada tahapan dan langkah yang baik pula. "Sehingga kebijakan tidak seharusnya menimbulkan masalah baru yang meresahkan," imbuhnya. Di tengah waktu yang terbatas ini, kata Reni, tentunya peserta ujian yang terjadwal utamanya tanggal 5-8 Juli kebingungan mencari lokasi rapid test dan menyediakan biaya yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan UTBK tersebut. Dapat diprediksi lab-lab yang menyediakan rapid test akan penuh dan berpotensi menimbulkan kerumunan. Kemudian jika hasilnya reaktif, maka peserta tidak dapat mengikuti UTBK sesuai jadwal yang ditentukan. Ada selang waktu 14 hari untuk mengikuti tes kembali. "Sementara hasil rapid test reaktif belum tentu siswa tersebut terkonfirmasi positif covid-19. Jangan sampai kebijakan ini merampas hak peserta yang rapid tesnya reaktif tetapi hasil swabnya negatif," jelasnya. Lebih jauh, kata Reni, permasalahan biaya dalam kondisi pandemi. Kebijakan ini menambah beban pengeluaran tambahan bagi warga. "Pemkot memang akan memberikan rapid test gratis bagi peserta yang MBR dan bidik misi yang berKTP Surabaya. Tapi kebijakan ini juga berdampak bagi peserta UTBK dari daerah lain," tandasnya. Salah satu poin SE Wali Kota Surabaya yang disebutkan mewajibkan seluruh peserta UTBK menunjukan hasil nonreaktif rapid test atau swab test hasil negatif yang dikeluarkan selambat-lambatnya 14 hari sebelum mengikuti ujian kepada panitia. Namun hal itu justru membebani calon peserta UTBK. “Terpakasa harus rapid test mandiri. Tentu dengan mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Bahkan teman-teman ada yang bilang ke saya bahwa rapid test rata-rata mencapai Rp 300-350 ribu,” kata Firdzi, salah satu calon peserta mengikuti UTBK di Unair.(why)

Sumber: