Kisah Pilu Kakek Perak Barat, Pasrah Tak Terima Bantuan Sembako dan BST dari Pemerintah

Kisah Pilu Kakek Perak Barat, Pasrah Tak Terima Bantuan Sembako dan BST dari Pemerintah

Surabaya, Memorandum.co.id - Di usianya yang senja, Nanang Soedarto (53) harus merawat cucunya bersama kakaknya Supriyati di rumah petak yang sempit dan pengap di kawasan Ikan Gurami, Kelurahan Perak Barat, Kecamatan Krembangan. Cucunya, Diva Nabila, hanya bisa tergolek dan terbaring di kasur lusuh, 17 tahun lamanya. Saat ditemui oleh Daniel Lukas Rorong selaku Ketua Komunitas Tolong Menolong. Menurut Nanang, cucunya tersebut sakit syaraf sejak berusia 6 bulan. Berawal dari kejang berkelanjutan, disusul demam tinggi. Sempat dirawat di Rumah Sakit dr. Soetomo, beberapa saat lamanya. Lalu diputuskan rawat jalan. Pengobatan alternatif juga sempat dicoba. Namun karena keterbatasan biaya, akhirnya sejak 2005, Nabila tidak lagi mendapatkan penanganan. "Saya sempat bekerja sebagai security saat itu (2005) di sebuah perusahaan. Terakhir, kerja sebagai kuli bangunan. Tapi sejak 2016 sampai sekarang, saya nganggur. Sudah berusaha cari kerjaan, tapi tidak ada yang mau menerima," kata Nanang. Beruntung, Supriyati, kakaknya, dapat pekerjaan meski serabutan di kantin perusahaan di kawasan Surabaya Barat. "Jadi, kalau makanannya tidak habis, bisa dibawa pulang dan kami makan di rumah," ujar Nanang. Nabila sendiri, menurut cerita Nanang, sudah dititipkan ibunya sejak 2005, saat dia berusia 2 tahun. Sedangkan ayahnya, sudah lebih dahulu pergi meninggalkan Nabila sejak masih berusia 3 bulan. Dan tidak ada kabarnya sampai sekarang. "Jadi, saya bergantian mengurus Nabila bersama kakak saya yang juga Neneknya Nabila," jelas Nanang. Kondisi Nabila sendiri, kata Nanang, sebenarnya sudah diketahui oleh Dinas Sosial Kota Surabaya. Bahkan, sudah beberapa bulan ini diberi bantuan susu formula. Namun untuk pengobatan, masih belum ada yang menangani. Nanang sendiri sebenarnya ingin cucunya tersebut mendapatkan pengobatan. Selain kebingungan soal biaya, Nabila sendiri tidak memiliki identitas diri seperti akte lahir dan Kartu Keluarga. "Jadi, saya kebingungan untuk mengurus BPJS dan semacamnya," ungkapnya. Nanang berharap, agar pemerintah bisa membantu permasalahan yang dihadapinya tersebut. Di kontrakannya yang sempit dan kumuh, Nanang harus hidup bersama tumpukan barang bekas. Beruntung, yang punya kontrakan berhati mulia. Karena tiap tahun, dia hanya dikenakan biaya kontrakan sebesar Rp. 750.000. Sayangnya, sudah beberapa bulan ini, saluran PDAM di kontrakannya tidak bisa mengalir. Sehingga, Nanang harus menimba air dari tetangganya. Yang memprihatinkan, tidak ada pembuangan kotoran di kontrakannya tersebut. "Jadi, kalau BAB, saya masukkan di lubang yang nantinya mengalir menuju ke got," katanya sembari menunjukkan kamar mandinya yang tidak memiliki septitank. Sementara itu, ditengah-tengah situasi pandemi COVID-19 seperti sekarang ini, Nanang pun mengaku tidak menerima bantuan sembako, apalagi Bantuan Sosial Tunai (BST) dari pemerintah. Nanang pun pasrah dan tidak berusaha mencari tahu, apakah dirinya termasuk salah satu penerima bantuan dari pemerintah atau tidak "Saya tidak sempat ngecek ke kelurahan atau kecamatan. Karena saya tidak bisa meninggalkan Nabila sendirian di kontrakan," ujarnya. Daniel Lukas Rorong, Ketua Komunitas Tolong Menolong (KTM) yang sudah dua kali berkunjung dan memberikan bantuan pada Nabila berjanji akan mengupayakan pengobatan. Termasuk merenovasi kontrakan dan membuatkan septitank. "Saya sudah minta ijin pada pemilik kontrakan. Dan secepatnya, kami akan melakukan bedah rumah," kata Daniel, yang sudah menjadi relawan kemanusiaan sejak 2011 lalu.(rio)

Sumber: