Perjalanan Mualaf Bonek Bule Ingo Pottag, Ekspatriat asal Jerman

Perjalanan Mualaf Bonek Bule Ingo Pottag, Ekspatriat asal Jerman

Anis Tianna dan Ingo Pottag--

Menurut Anis, dia memberikan pendekatan tentang Islam secara keilmuan dan filosofis. “Pendekatan yang saya lakukan berdampak positif. Suami akhirnya memahami Islam tidak seperti yang ia dengar di negaranya. Yang radikal lah, yang terorislah, inilah,” beber Anis.

Setelah mendapatkan penjelasan dari Anis, Ingo juga mulai belajar dari lingkungan sekitarnya. Ternyata, Ingo menyebut, Islam merupakan part of culture. 

“Setelah itu, suami justru merasa sangat nyaman dan makin cinta dengan Indonesia. Baik itu budaya, lebih-lebih makanan yang menurut suami sangat beragam,” jlentreh Anis yang asli kelahiran Balongpanggang, Gresik ini.

Lama-kelamaan Ingo melihat, Islam bukanlah agama yang menakutkan seperti yang ia dengar di Jerman. Justru menurut Anis, Ingo menyebut, Islam bisa berdampingan dengan baik dengan agama lain.

“Sebagaimana Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity),” imbuh Anis.

Setelah menjadi mualaf, Ingo tentu banyak belajar mengenai Islam. Termasuk larangan sebagai umat Islam, termasuk makanan.

“Untungnya juga, suami termasuk tidak suka makan yang dilarang dalam Islam. Kesukaan suami seperti bule-bule pada umumnya adalah nasi goreng dan tentu saja guramee pesmol dan rendang kesukaannya,” kata perempuan lulusan Unair ini.

Setelah memeluk Islam kurang lebih 10 tahun, Anis menyebut, Ingo dari hari ke hari sangat Islami.

“Orangnya lebih sabar, makin suka bercanda dan tentu saja makin sayang dan cinta dengan istrinya yang sudah mengenalkan Islam. Sebagai sebagaimna diketahui Islam adalah cinta damai. Dengan Islam kita pasti akan lebih damai dalam menjalani kehidupan sehari-hari,” beber Anis yang juga dosen di Universitas Ciputra, Surabaya ini. (ono)

Sumber: